Juni 4, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

Cancel culture
2025-06-04 | admin3

Cancel Culture Pertama di Indonesia dan Artis Viral

Cancel culture, yang merujuk pada fenomena di mana individu atau kelompok membatalkan atau menarik dukungan terhadap seseorang akibat tindakan atau ucapan yang dianggap tidak pantas, mulai dikenal secara luas di Indonesia beberapa tahun terakhir. Meskipun bukan fenomena yang sepenuhnya baru, fenomena ini mulai berkembang pesat seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial, yang memberikan platform bagi warganet untuk menyuarakan pendapat dan membentuk opini publik. Salah satu peristiwa cancel culture pertama yang mendapat perhatian besar di Indonesia melibatkan seorang artis yang terlibat dalam kontroversi besar.

Pada awal tahun 2018, isu cancel culture di Indonesia meledak pertama kali ketika penyanyi dangdut, Saipul Jamil, menjadi sorotan. Saipul Jamil yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu penyanyi dangdut terkenal harus menghadapi slot deposit 10 ribu kenyataan pahit ketika ia terjerat kasus hukum. Ia divonis penjara karena kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Keputusan hukum ini membuat publik terkejut dan sangat mengutuk perbuatannya. Tidak hanya penggemarnya yang kecewa, namun banyak orang di media sosial yang meminta agar Saipul Jamil dikeluarkan dari dunia hiburan dan dihukum setimpal dengan tindakannya.

Kasus ini menandai salah satu bentuk cancel culture pertama di Indonesia karena publik secara tegas meminta agar Saipul Jamil “dihapus” dari dunia hiburan. Banyak brand yang sebelumnya mendukung karirnya menarik iklan dan kerja sama mereka, dan konser-konser yang melibatkan dirinya dibatalkan. Tidak hanya itu, banyak selebriti dan penggemar yang menyuarakan penolakan terhadap Saipul Jamil melalui media sosial, bahkan memboikot segala karya atau penampilan yang melibatkan dirinya.

Selain Saipul Jamil, ada beberapa artis Indonesia lainnya yang juga pernah menjadi sasaran cancel culture. Misalnya, Gisella Anastasia, yang terlibat dalam kontroversi video pribadi yang tersebar luas pada tahun 2019. Gisel yang awalnya menjadi pusat perhatian publik karena masalah rumah tangganya dengan Gading Marten, kembali menjadi sorotan setelah video mesra yang diduga melibatkan dirinya beredar di dunia maya. Video ini memicu perdebatan sengit di media sosial tentang privasi, moralitas, dan standar etika publik. Banyak warganet yang meminta agar Gisel dikenakan sanksi atau di-“cancel” karena dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. Meski ia sudah meminta maaf dan mengaku kesalahan, tekanan dari media sosial tetap membuat banyak orang enggan mendukungnya.

Namun, meski menjadi sasaran cancel culture, beberapa artis justru mampu membalikkan keadaan dan mendapatkan kembali dukungan publik. Salah satunya adalah Gisella Anastasia yang meski sempat mengalami masa sulit, akhirnya berhasil kembali berkarir setelah melakukan introspeksi dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki citranya. Dukungan yang ia terima menunjukkan bahwa meski cancel culture dapat merusak reputasi seseorang, kesempatan untuk bangkit kembali tetap ada, terutama jika individu tersebut memiliki niat untuk berubah.

Fenomena cancel culture di Indonesia terus berkembang seiring dengan semakin kompleksnya dinamika sosial dan politik. Banyak warganet yang menyadari bahwa tindakan membatalkan atau menanggalkan dukungan terhadap seseorang harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Terlepas dari pro dan kontra terkait cancel culture, fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik. Dalam dunia hiburan, di mana reputasi sangat penting, setiap tindakan atau ucapan yang kontroversial dapat dengan cepat memicu reaksi besar dari masyarakat, dan tidak jarang mengakibatkan dampak yang panjang terhadap karir seseorang.

Namun, cancel culture juga menimbulkan perdebatan tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan apakah pemboikotan publik benar-benar membawa dampak positif atau malah sebaliknya, menimbulkan polarisasi sosial. Hal ini mengingat bahwa di balik setiap keputusan untuk “membatalkan” seseorang, terdapat berbagai sisi cerita yang perlu dipertimbangkan dengan bijaksana.

BACA JUGA: Ketika Netizen Membungkus Cancel Culture dengan Dalil Agama!

Share: Facebook Twitter Linkedin
cancel culture
2025-05-24 | admin3

Ketika Netizen Membungkus Cancel Culture dengan Dalil Agama!

Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini bukan lagi hal asing di dunia maya. Istilah ini merujuk pada aksi kolektif masyarakat, terutama di media sosial, untuk “menghukum” tokoh publik, selebritas, atau siapa pun yang dianggap melakukan kesalahan, baik secara etika, sosial, maupun moral. Namun yang menjadi perhatian serius adalah ketika praktik cancel culture ini dibungkus dengan dalil-dalil agama.

Belakangan, banyak netizen yang tidak sekadar mengecam seseorang karena kesalahannya, tetapi juga melabeli dengan sebutan-sebutan keagamaan seperti “kafir”, “sesat”, atau “murtad”. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang memaksakan iam-love.co pemboikotan atau pengasingan sosial terhadap seseorang dengan mengutip ayat suci atau hadis, seolah menjadi pembenaran mutlak atas tindakan mereka. Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah benar membatalkan atau menghakimi seseorang di media sosial dengan dalih agama adalah tindakan yang tepat?

Secara esensial, ajaran agama, terutama Islam sebagai agama yang paling sering dikaitkan dalam konteks ini di Indonesia, sangat menjunjung tinggi adab, tabayyun (klarifikasi), serta prinsip kasih sayang. Ketika seseorang bersalah, agama tidak mengajarkan untuk langsung menghakimi tanpa proses klarifikasi. Dalam Islam misalnya, terdapat kaidah bahwa seseorang tidak boleh dihukumi sebelum mendengar penjelasan dan bukti yang sahih. Akan tetapi, netizen sering kali mengambil jalan pintas dengan langsung menyebar kutipan agama tanpa melihat konteksnya secara utuh.

Tindakan ini dapat menimbulkan dua masalah besar. Pertama, penggunaan dalil agama secara sembarangan bisa menyebabkan salah paham terhadap ajaran agama itu sendiri. Orang awam yang membaca komentar tersebut bisa mengira bahwa Islam mendorong untuk memutus silaturahmi atau menghina orang lain jika melakukan kesalahan. Kedua, ini bisa menjadi bentuk kezaliman digital yang berujung pada kekerasan psikologis bagi pihak yang diserang.

Perlu disadari, cancel culture sering kali bergerak berdasarkan emosi dan asumsi, bukan atas prinsip keadilan yang objektif. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk membenarkan cancel culture, yang terjadi justru pembalikan nilai: agama yang sejatinya membawa rahmat dan pencerahan, malah dipakai untuk menjustifikasi pengucilan dan penghukuman sosial.

Sebaliknya, agama mengajarkan pentingnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk berubah, memperbaiki diri, dan bertaubat. Dalam banyak kisah tokoh-tokoh spiritual, bahkan orang yang pernah berdosa besar tetap diberikan pintu maaf dan ruang untuk memperbaiki hidupnya. Jika media sosial hari ini justru menutup pintu itu, maka kita patut bertanya: di mana letak nilai spiritualitasnya?

Menyoroti fenomena ini bukan berarti membenarkan kesalahan yang dilakukan oleh publik figur atau tokoh tertentu. Kritik dan pengingat memang diperlukan. Namun, akan lebih bijak bila dilakukan dengan cara yang beradab, penuh empati, dan jauh dari semangat menghakimi. Cancel culture yang dibungkus dalil agama justru bisa menodai pesan agama itu sendiri, menjadikannya alat kekuasaan massa alih-alih sebagai sumber kasih dan kebaikan.

Pada akhirnya, media sosial memang memberi kekuatan pada publik, namun kekuatan itu perlu disertai dengan tanggung jawab moral. Kritik boleh, tapi menghakimi tanpa belas kasih bukanlah ajaran agama mana pun.

BACA JUGA: Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati

Share: Facebook Twitter Linkedin