Juli 9, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

cancel culture
2025-05-24 | admin3

Ketika Netizen Membungkus Cancel Culture dengan Dalil Agama!

Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini bukan lagi hal asing di dunia maya. Istilah ini merujuk pada aksi kolektif masyarakat, terutama di media sosial, untuk “menghukum” tokoh publik, selebritas, atau siapa pun yang dianggap melakukan kesalahan, baik secara etika, sosial, maupun moral. Namun yang menjadi perhatian serius adalah ketika praktik cancel culture ini dibungkus dengan dalil-dalil agama.

Belakangan, banyak netizen yang tidak sekadar mengecam seseorang karena kesalahannya, tetapi juga melabeli dengan sebutan-sebutan keagamaan seperti “kafir”, “sesat”, atau “murtad”. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang memaksakan iam-love.co pemboikotan atau pengasingan sosial terhadap seseorang dengan mengutip ayat suci atau hadis, seolah menjadi pembenaran mutlak atas tindakan mereka. Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah benar membatalkan atau menghakimi seseorang di media sosial dengan dalih agama adalah tindakan yang tepat?

Secara esensial, ajaran agama, terutama Islam sebagai agama yang paling sering dikaitkan dalam konteks ini di Indonesia, sangat menjunjung tinggi adab, tabayyun (klarifikasi), serta prinsip kasih sayang. Ketika seseorang bersalah, agama tidak mengajarkan untuk langsung menghakimi tanpa proses klarifikasi. Dalam Islam misalnya, terdapat kaidah bahwa seseorang tidak boleh dihukumi sebelum mendengar penjelasan dan bukti yang sahih. Akan tetapi, netizen sering kali mengambil jalan pintas dengan langsung menyebar kutipan agama tanpa melihat konteksnya secara utuh.

Tindakan ini dapat menimbulkan dua masalah besar. Pertama, penggunaan dalil agama secara sembarangan bisa menyebabkan salah paham terhadap ajaran agama itu sendiri. Orang awam yang membaca komentar tersebut bisa mengira bahwa Islam mendorong untuk memutus silaturahmi atau menghina orang lain jika melakukan kesalahan. Kedua, ini bisa menjadi bentuk kezaliman digital yang berujung pada kekerasan psikologis bagi pihak yang diserang.

Perlu disadari, cancel culture sering kali bergerak berdasarkan emosi dan asumsi, bukan atas prinsip keadilan yang objektif. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk membenarkan cancel culture, yang terjadi justru pembalikan nilai: agama yang sejatinya membawa rahmat dan pencerahan, malah dipakai untuk menjustifikasi pengucilan dan penghukuman sosial.

Sebaliknya, agama mengajarkan pentingnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk berubah, memperbaiki diri, dan bertaubat. Dalam banyak kisah tokoh-tokoh spiritual, bahkan orang yang pernah berdosa besar tetap diberikan pintu maaf dan ruang untuk memperbaiki hidupnya. Jika media sosial hari ini justru menutup pintu itu, maka kita patut bertanya: di mana letak nilai spiritualitasnya?

Menyoroti fenomena ini bukan berarti membenarkan kesalahan yang dilakukan oleh publik figur atau tokoh tertentu. Kritik dan pengingat memang diperlukan. Namun, akan lebih bijak bila dilakukan dengan cara yang beradab, penuh empati, dan jauh dari semangat menghakimi. Cancel culture yang dibungkus dalil agama justru bisa menodai pesan agama itu sendiri, menjadikannya alat kekuasaan massa alih-alih sebagai sumber kasih dan kebaikan.

Pada akhirnya, media sosial memang memberi kekuatan pada publik, namun kekuatan itu perlu disertai dengan tanggung jawab moral. Kritik boleh, tapi menghakimi tanpa belas kasih bukanlah ajaran agama mana pun.

BACA JUGA: Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati

Share: Facebook Twitter Linkedin
cancel culture
2025-03-30 | admin3

Cancel Culture di Kalangan TikTokers: Dampak dan Fenomena yang Semakin Populer

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture telah menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok. Cancel culture merujuk pada tindakan publik untuk “membatalkan” atau menghindari individu, grup, atau merek yang dianggap telah melakukan sesuatu yang kontroversial atau tidak etis. Di TikTok, yang dikenal dengan dinamika cepat dan viral, cancel culture sering kali mencuat dengan intensitas yang luar biasa. Artikel ini akan membahas fenomena cancel culture TikTokers, dampaknya terhadap mereka, serta bagaimana hal ini memengaruhi perilaku dan persepsi masyarakat terhadap tokoh-tokoh media sosial.

BACA JUGA INFORMASI ARTIKEL SELANJUTNYA DISINI: Artis Thailand dan Fenomena Cancel Culture: Dampaknya di Dunia Hiburan

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah praktik di mana individu atau kelompok secara kolektif menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu yang dianggap melakukan perilaku tidak pantas, ofensif, atau tidak etis. Tindakan ini bisa berupa menghentikan dukungan terhadap seorang tokoh publik, berhenti mengikuti akun mereka di media sosial, atau bahkan melaporkan mereka ke platform sosial agar mendapatkan sanksi atau pemblokiran.

Pada TikTok, cancel culture sering kali terkait dengan video atau konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial atau etika. Ketika seorang TikToker mengunggah video yang kontroversial, apakah itu terkait dengan ujaran kebencian, rasisme, seksisme, atau bahkan tindakan yang dianggap tidak bertanggung jawab, masyarakat TikTok dapat bereaksi dengan mem-BERHENTIKAN mengikuti akun tersebut, memberi komentar negatif, atau bahkan meminta agar akun tersebut diblokir atau dihapus.

Bagaimana Cancel Culture Memengaruhi TikTokers?

TikTokers, seperti selebritas media sosial lainnya, sering kali mendapatkan popularitas berkat pengikut yang setia dan engagement tinggi. Namun, hal ini juga membuat mereka rentan terhadap efek negatif dari cancel culture ketika mereka melakukan kesalahan atau berbuat kontroversial. Berikut adalah beberapa dampak yang dialami TikTokers ketika mereka menjadi sasaran cancel culture:

  1. Penurunan Jumlah Pengikut
    Salah satu dampak langsung yang sering dialami TikTokers yang dibatalkan adalah penurunan jumlah pengikut. Pengikut yang merasa kecewa atau tersinggung oleh konten atau perilaku mereka akan memilih untuk tidak mengikuti akun mereka lagi. Hal ini dapat merusak citra dan popularitas TikToker tersebut secara signifikan.

  2. Dampak terhadap Karier dan Brand
    Banyak TikTokers yang membangun karier mereka melalui endorsement produk, kolaborasi dengan merek, atau bekerja dengan agen iklan. Jika seorang TikToker terkena cancel culture, ini bisa berisiko terhadap hubungan mereka dengan merek atau sponsor. Merek yang tidak ingin diasosiasikan dengan kontroversi atau citra negatif cenderung menarik diri dari kerja sama dengan TikTokers yang terlibat dalam skandal.

  3. Kehilangan Kepercayaan Pengikut
    Kepercayaan adalah aset berharga bagi TikTokers. Ketika mereka melakukan kesalahan besar atau video mereka dianggap menyinggung pihak tertentu, pengikut mereka mungkin kehilangan kepercayaan. Reaksi dari para pengikut ini bisa berujung pada pembatalan total dukungan terhadap influencer atau bahkan penyebaran kampanye untuk memboikot konten mereka.

  4. Stress Mental dan Dampak Psikologis
    Efek dari cancel culture tidak hanya dirasakan di dunia maya, tetapi juga dapat memengaruhi kesehatan mental TikToker. Dihujani dengan komentar negatif, hinaan, dan kritik dapat menimbulkan stres yang berat. Bahkan beberapa TikTokers mengungkapkan rasa frustrasi dan ketidakmampuan untuk menghadapinya, yang dapat berakibat pada penurunan kesehatan mental mereka.

Kontroversi dan Kritik terhadap Cancel Culture di TikTok

Meskipun cancel culture sering dianggap sebagai sarana untuk menegakkan etika sosial dan menghukum perilaku yang tidak pantas, fenomena ini juga memunculkan banyak kritik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa cancel culture sering kali berlebihan dan tidak memberikan ruang bagi pertumbuhan atau perubahan. Beberapa alasan utama kritik terhadap cancel culture adalah:

  1. Kurangnya Ruang untuk Pertobatan
    Banyak yang merasa bahwa cancel culture sering kali menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi individu yang bersangkutan untuk meminta maaf atau memperbaiki kesalahan mereka. Bagi sebagian orang, ini menciptakan budaya di mana kesalahan kecil atau miskomunikasi dapat menghancurkan karier seseorang tanpa ada kesempatan untuk perbaikan.

  2. Dampak Terhadap Kebebasan Berpendapat
    Beberapa pihak melihat cancel culture sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Mereka berpendapat bahwa individu seharusnya diberikan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat atau opini mereka, meskipun mungkin tidak populer, tanpa takut dihukum atau dibatalkan oleh masyarakat.

  3. Sering Tidak Proporsional
    Dalam beberapa kasus, sanksi yang diberikan dalam cancel culture bisa jadi terlalu berlebihan dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan. Misalnya, kesalahan kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan klarifikasi atau permintaan maaf malah berujung pada penghentian total karier seorang TikToker. Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara kesalahan dan konsekuensinya.

Menghadapi Cancel Culture: Apakah Ada Jalan Keluar?

Bagi TikTokers yang terjebak dalam cancel culture, ada beberapa cara untuk merespons atau menghadapinya. Salah satu cara terbaik adalah dengan mengakui kesalahan secara terbuka jika memang ada yang salah, dan meminta maaf dengan tulus. Menunjukkan bahwa seseorang belajar dari kesalahannya dan berusaha memperbaiki perilaku atau sikap yang dianggap kontroversial bisa menjadi langkah positif.

Selain itu, TikTokers yang terkena cancel culture perlu memahami bahwa mereka tidak selalu bisa memuaskan semua orang. Dalam beberapa kasus, mereka harus mempertimbangkan apakah mereka bisa terus beraktivitas secara sehat di dunia maya atau lebih baik mundur sementara waktu untuk fokus pada diri sendiri.

Share: Facebook Twitter Linkedin
Pertimbangan Yang Membuat Cancel Culture Tepat Atau Tidaknya Dalam Masyarakat
2025-03-04 | admin2

Pertimbangan Yang Membuat Cancel Culture Tepat Atau Tidaknya Dalam Masyarakat

Belakangan, istilah cancel culture jadi kondang di media sosial. Menurut Verywell Mind, cancel culture merupakan praktek menarik simpati penduduk untuk memboikot seseorang maupun grup spesifik yang pernah lakukan kesalahan di era sekarang atau era lalu.

Dampak Cancel Culture

Dampak cancel culture dinilai efisien di dalam memerangi seksisme, rasisme, beraneka model pelecehan, maupun perbuatan merugikan yang beresiko orang lain. Hal ini disampaikan Lisa Nakamura, profesor berasal dari University of Michigan, Amerika Serikat.

1. Mereka yang Menggalakkan Cancel Culture

Ketika melancarkan cancel culture terhadap seseorang maupun grup tertentu, tanpa disadari, hal ini bisa menumbuhkan ego pribadi.

Bukan tidak mungkin, Anda terpancing emosi sehingga mulai paling benar dan nir-kesalahan. Akibatnya, Anda lebih enteng menghakimi orang lain, tetapi kesulitan mengevaluasi diri sendiri.

Terlebih saat cancel culture jadi ajang caci maki dan penyebaran kebencian kepada orang yang tidak Anda senangi. Fitur ini memungkinkan pemain untuk mencoba permainan raja zeus secara gratis dengan taruhan minimal, tetapi tetap memberikan peluang besar untuk menang (maxwin).

“Dampaknya bisa menyebabkan (orang yang menggalakkan cancel culture) jadi berani lakukan suatu hal yang sebenarnya tidak pas ditunaikan (bullying),” sadar Ikhsan.

2. Mereka yang Di-cancel

Ketika praktek cancel culture beralih jadi ajang perundungan, keadaan ini bisa memengaruhi kesegaran mental orang yang “di-cancel”. Mereka yang bisa mulai terisolasi secara sosial, dikucilkan, dan kesepian.

“Mereka terhitung bisa mulai dirinya tidak berharga sehingga mengalami depresi,” kata Ikhsan. Terlebih, mereka tidak diberikan kesempatan maupun ruang dialog fungsi sadar dan memperbaiki kesalahan mereka.

Kendati demikian, terkecuali Anda keliru satu berasal dari orang yang di-cancel, stigma negatif yang disematkan banyak orang bisa dijadikan bahan evaluasi.

Anda perlu sadar kesalahan tersebut, memperbaikinya, dan menegaskan sehingga hal serupa tidak terjadi di lantas hari.

3. Masyarakat yang Menyaksikan

Cancel culture tidak hanya memengaruhi keadaan psikologis mereka yang melancarkan praktek tersebut, maupun orang yang di-cancel. Pemboikotan itu terhitung bisa memengaruhi kesegaran mental penduduk yang menyaksikan.

Baca Juga : Efek Negatif Cancel Culture bagi Kesehatan Mental

Bagi penonton, praktek cancel culture bisa menumbuhkan rasa takut. Pasalnya, pemboikotan yang ditunaikan banyak orang bisa menimbulkan kecemasan seakan orang lain akan membongkar tindakan keliru mereka di era lalu.

Akibatnya, alih-alih turut menolong dan menyuarakan ketidakadilan yang disaksikan, banyak orang memilih diam. Tidak berhenti hingga di situ, usai huru-hara cancel culture selanjutnya berakhir, beberapa orang bisa dihinggapi rasa bersalah. Penyebabnya, sebab saat tersedia kesempatan, mereka mulai tidak membela seseorang yang tertindas.

Share: Facebook Twitter Linkedin