Juli 9, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

Cancel culture
2025-06-04 | admin3

Cancel Culture Pertama di Indonesia dan Artis Viral

Cancel culture, yang merujuk pada fenomena di mana individu atau kelompok membatalkan atau menarik dukungan terhadap seseorang akibat tindakan atau ucapan yang dianggap tidak pantas, mulai dikenal secara luas di Indonesia beberapa tahun terakhir. Meskipun bukan fenomena yang sepenuhnya baru, fenomena ini mulai berkembang pesat seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial, yang memberikan platform bagi warganet untuk menyuarakan pendapat dan membentuk opini publik. Salah satu peristiwa cancel culture pertama yang mendapat perhatian besar di Indonesia melibatkan seorang artis yang terlibat dalam kontroversi besar.

Pada awal tahun 2018, isu cancel culture di Indonesia meledak pertama kali ketika penyanyi dangdut, Saipul Jamil, menjadi sorotan. Saipul Jamil yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu penyanyi dangdut terkenal harus menghadapi slot deposit 10 ribu kenyataan pahit ketika ia terjerat kasus hukum. Ia divonis penjara karena kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Keputusan hukum ini membuat publik terkejut dan sangat mengutuk perbuatannya. Tidak hanya penggemarnya yang kecewa, namun banyak orang di media sosial yang meminta agar Saipul Jamil dikeluarkan dari dunia hiburan dan dihukum setimpal dengan tindakannya.

Kasus ini menandai salah satu bentuk cancel culture pertama di Indonesia karena publik secara tegas meminta agar Saipul Jamil “dihapus” dari dunia hiburan. Banyak brand yang sebelumnya mendukung karirnya menarik iklan dan kerja sama mereka, dan konser-konser yang melibatkan dirinya dibatalkan. Tidak hanya itu, banyak selebriti dan penggemar yang menyuarakan penolakan terhadap Saipul Jamil melalui media sosial, bahkan memboikot segala karya atau penampilan yang melibatkan dirinya.

Selain Saipul Jamil, ada beberapa artis Indonesia lainnya yang juga pernah menjadi sasaran cancel culture. Misalnya, Gisella Anastasia, yang terlibat dalam kontroversi video pribadi yang tersebar luas pada tahun 2019. Gisel yang awalnya menjadi pusat perhatian publik karena masalah rumah tangganya dengan Gading Marten, kembali menjadi sorotan setelah video mesra yang diduga melibatkan dirinya beredar di dunia maya. Video ini memicu perdebatan sengit di media sosial tentang privasi, moralitas, dan standar etika publik. Banyak warganet yang meminta agar Gisel dikenakan sanksi atau di-“cancel” karena dianggap melanggar norma sosial yang berlaku. Meski ia sudah meminta maaf dan mengaku kesalahan, tekanan dari media sosial tetap membuat banyak orang enggan mendukungnya.

Namun, meski menjadi sasaran cancel culture, beberapa artis justru mampu membalikkan keadaan dan mendapatkan kembali dukungan publik. Salah satunya adalah Gisella Anastasia yang meski sempat mengalami masa sulit, akhirnya berhasil kembali berkarir setelah melakukan introspeksi dan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki citranya. Dukungan yang ia terima menunjukkan bahwa meski cancel culture dapat merusak reputasi seseorang, kesempatan untuk bangkit kembali tetap ada, terutama jika individu tersebut memiliki niat untuk berubah.

Fenomena cancel culture di Indonesia terus berkembang seiring dengan semakin kompleksnya dinamika sosial dan politik. Banyak warganet yang menyadari bahwa tindakan membatalkan atau menanggalkan dukungan terhadap seseorang harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Terlepas dari pro dan kontra terkait cancel culture, fenomena ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik. Dalam dunia hiburan, di mana reputasi sangat penting, setiap tindakan atau ucapan yang kontroversial dapat dengan cepat memicu reaksi besar dari masyarakat, dan tidak jarang mengakibatkan dampak yang panjang terhadap karir seseorang.

Namun, cancel culture juga menimbulkan perdebatan tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan apakah pemboikotan publik benar-benar membawa dampak positif atau malah sebaliknya, menimbulkan polarisasi sosial. Hal ini mengingat bahwa di balik setiap keputusan untuk “membatalkan” seseorang, terdapat berbagai sisi cerita yang perlu dipertimbangkan dengan bijaksana.

BACA JUGA: Ketika Netizen Membungkus Cancel Culture dengan Dalil Agama!

Share: Facebook Twitter Linkedin
cancel culture
2025-05-24 | admin3

Ketika Netizen Membungkus Cancel Culture dengan Dalil Agama!

Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini bukan lagi hal asing di dunia maya. Istilah ini merujuk pada aksi kolektif masyarakat, terutama di media sosial, untuk “menghukum” tokoh publik, selebritas, atau siapa pun yang dianggap melakukan kesalahan, baik secara etika, sosial, maupun moral. Namun yang menjadi perhatian serius adalah ketika praktik cancel culture ini dibungkus dengan dalil-dalil agama.

Belakangan, banyak netizen yang tidak sekadar mengecam seseorang karena kesalahannya, tetapi juga melabeli dengan sebutan-sebutan keagamaan seperti “kafir”, “sesat”, atau “murtad”. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang memaksakan iam-love.co pemboikotan atau pengasingan sosial terhadap seseorang dengan mengutip ayat suci atau hadis, seolah menjadi pembenaran mutlak atas tindakan mereka. Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah benar membatalkan atau menghakimi seseorang di media sosial dengan dalih agama adalah tindakan yang tepat?

Secara esensial, ajaran agama, terutama Islam sebagai agama yang paling sering dikaitkan dalam konteks ini di Indonesia, sangat menjunjung tinggi adab, tabayyun (klarifikasi), serta prinsip kasih sayang. Ketika seseorang bersalah, agama tidak mengajarkan untuk langsung menghakimi tanpa proses klarifikasi. Dalam Islam misalnya, terdapat kaidah bahwa seseorang tidak boleh dihukumi sebelum mendengar penjelasan dan bukti yang sahih. Akan tetapi, netizen sering kali mengambil jalan pintas dengan langsung menyebar kutipan agama tanpa melihat konteksnya secara utuh.

Tindakan ini dapat menimbulkan dua masalah besar. Pertama, penggunaan dalil agama secara sembarangan bisa menyebabkan salah paham terhadap ajaran agama itu sendiri. Orang awam yang membaca komentar tersebut bisa mengira bahwa Islam mendorong untuk memutus silaturahmi atau menghina orang lain jika melakukan kesalahan. Kedua, ini bisa menjadi bentuk kezaliman digital yang berujung pada kekerasan psikologis bagi pihak yang diserang.

Perlu disadari, cancel culture sering kali bergerak berdasarkan emosi dan asumsi, bukan atas prinsip keadilan yang objektif. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk membenarkan cancel culture, yang terjadi justru pembalikan nilai: agama yang sejatinya membawa rahmat dan pencerahan, malah dipakai untuk menjustifikasi pengucilan dan penghukuman sosial.

Sebaliknya, agama mengajarkan pentingnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk berubah, memperbaiki diri, dan bertaubat. Dalam banyak kisah tokoh-tokoh spiritual, bahkan orang yang pernah berdosa besar tetap diberikan pintu maaf dan ruang untuk memperbaiki hidupnya. Jika media sosial hari ini justru menutup pintu itu, maka kita patut bertanya: di mana letak nilai spiritualitasnya?

Menyoroti fenomena ini bukan berarti membenarkan kesalahan yang dilakukan oleh publik figur atau tokoh tertentu. Kritik dan pengingat memang diperlukan. Namun, akan lebih bijak bila dilakukan dengan cara yang beradab, penuh empati, dan jauh dari semangat menghakimi. Cancel culture yang dibungkus dalil agama justru bisa menodai pesan agama itu sendiri, menjadikannya alat kekuasaan massa alih-alih sebagai sumber kasih dan kebaikan.

Pada akhirnya, media sosial memang memberi kekuatan pada publik, namun kekuatan itu perlu disertai dengan tanggung jawab moral. Kritik boleh, tapi menghakimi tanpa belas kasih bukanlah ajaran agama mana pun.

BACA JUGA: Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati

Share: Facebook Twitter Linkedin
2025-05-23 | admin3

Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati

Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini menjadi perbincangan hangat, terutama di era media sosial yang berkembang pesat. Budaya ini merujuk pada tindakan kolektif masyarakat untuk memboikot atau mengkritik keras seseorang, biasanya figur publik, akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas. Meski pada dasarnya lahir dari dorongan moral, praktik cancel culture dinilai menyimpan banyak dilema etis. Menanggapi isu ini, salah satu dosen Universitas Kristen Petra (UK Petra) Surabaya, Meilinda, S.S., M.A., memberikan pandangan kritisnya.

Meilinda, yang merupakan dosen Program Studi English for Creative Industry UK Petra, melihat bahwa cancel culture memiliki dua sisi yang perlu dipahami secara mendalam. Di satu sisi, budaya ini bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk menuntut tanggung jawab dari pihak yang melakukan kesalahan. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa pembatalan yang dilakukan secara terburu-buru, tanpa pemahaman konteks atau fakta lengkap, justru bisa menimbulkan kerugian yang lebih luas.

“Sering kali masyarakat terlalu cepat bereaksi. Tanpa mendalami konteks, seseorang bisa langsung dihakimi dan dijatuhkan reputasinya. Ini tentu bisa membahayakan,” jelas Meilinda.

Menurutnya, yang menjadi korban dalam budaya pembatalan tidak hanya individu yang disorot, melainkan juga pihak-pihak lain yang terkait. Ia memberi contoh pada kasus selebritas atau publik figur yang dibatalkan akibat satu kesalahan; seluruh tim di balik layar—mulai dari penulis, kru produksi, hingga staf pemasaran—ikut merasakan dampaknya. Kontrak kerja bisa dibatalkan, proyek dihentikan, dan reputasi profesional ikut tercoreng.

Lebih lanjut, Meilinda mengajak masyarakat untuk lebih mengedepankan empati dan pendekatan edukatif ketimbang sanksi sosial. Ia menilai bahwa alih-alih langsung “membatalkan” seseorang, masyarakat dapat mengedepankan dialog, kritik yang membangun, dan memberi ruang bagi individu tersebut untuk belajar dan memperbaiki diri.

“Kalau kita ingin perubahan yang sejati, kita harus membangun budaya komunikasi yang sehat. Edukasi jauh lebih berdampak daripada hanya menghukum,” ujarnya.

Media sosial menjadi medium daftar rajazeus utama dalam berkembangnya cancel culture. Meilinda menyoroti bahwa kecepatan dan kebebasan berbicara di platform digital memang menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi bumerang jika tidak digunakan secara bijak. Ia menegaskan pentingnya literasi digital, khususnya untuk generasi muda, agar dapat memilah informasi dan tidak terjebak dalam arus penghakiman massal.

Sebagai penutup, Meilinda mengingatkan bahwa dalam masyarakat yang beradab, proses perbaikan dan pertumbuhan pribadi harus diberi ruang. Tidak semua kesalahan harus dibayar dengan “penghilangan” seseorang dari ruang publik. Dengan pendidikan, empati, dan kepekaan sosial yang tinggi, masyarakat dapat membentuk budaya yang lebih sehat dan konstruktif.

BACA JUGA: 5 Artis Hobi Membalas Komentar Nyinyir Netizen

Share: Facebook Twitter Linkedin
cancel culture
2025-03-30 | admin3

Cancel Culture di Kalangan TikTokers: Dampak dan Fenomena yang Semakin Populer

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture telah menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok. Cancel culture merujuk pada tindakan publik untuk “membatalkan” atau menghindari individu, grup, atau merek yang dianggap telah melakukan sesuatu yang kontroversial atau tidak etis. Di TikTok, yang dikenal dengan dinamika cepat dan viral, cancel culture sering kali mencuat dengan intensitas yang luar biasa. Artikel ini akan membahas fenomena cancel culture TikTokers, dampaknya terhadap mereka, serta bagaimana hal ini memengaruhi perilaku dan persepsi masyarakat terhadap tokoh-tokoh media sosial.

BACA JUGA INFORMASI ARTIKEL SELANJUTNYA DISINI: Artis Thailand dan Fenomena Cancel Culture: Dampaknya di Dunia Hiburan

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah praktik di mana individu atau kelompok secara kolektif menarik dukungan terhadap seseorang atau sesuatu yang dianggap melakukan perilaku tidak pantas, ofensif, atau tidak etis. Tindakan ini bisa berupa menghentikan dukungan terhadap seorang tokoh publik, berhenti mengikuti akun mereka di media sosial, atau bahkan melaporkan mereka ke platform sosial agar mendapatkan sanksi atau pemblokiran.

Pada TikTok, cancel culture sering kali terkait dengan video atau konten yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial atau etika. Ketika seorang TikToker mengunggah video yang kontroversial, apakah itu terkait dengan ujaran kebencian, rasisme, seksisme, atau bahkan tindakan yang dianggap tidak bertanggung jawab, masyarakat TikTok dapat bereaksi dengan mem-BERHENTIKAN mengikuti akun tersebut, memberi komentar negatif, atau bahkan meminta agar akun tersebut diblokir atau dihapus.

Bagaimana Cancel Culture Memengaruhi TikTokers?

TikTokers, seperti selebritas media sosial lainnya, sering kali mendapatkan popularitas berkat pengikut yang setia dan engagement tinggi. Namun, hal ini juga membuat mereka rentan terhadap efek negatif dari cancel culture ketika mereka melakukan kesalahan atau berbuat kontroversial. Berikut adalah beberapa dampak yang dialami TikTokers ketika mereka menjadi sasaran cancel culture:

  1. Penurunan Jumlah Pengikut
    Salah satu dampak langsung yang sering dialami TikTokers yang dibatalkan adalah penurunan jumlah pengikut. Pengikut yang merasa kecewa atau tersinggung oleh konten atau perilaku mereka akan memilih untuk tidak mengikuti akun mereka lagi. Hal ini dapat merusak citra dan popularitas TikToker tersebut secara signifikan.

  2. Dampak terhadap Karier dan Brand
    Banyak TikTokers yang membangun karier mereka melalui endorsement produk, kolaborasi dengan merek, atau bekerja dengan agen iklan. Jika seorang TikToker terkena cancel culture, ini bisa berisiko terhadap hubungan mereka dengan merek atau sponsor. Merek yang tidak ingin diasosiasikan dengan kontroversi atau citra negatif cenderung menarik diri dari kerja sama dengan TikTokers yang terlibat dalam skandal.

  3. Kehilangan Kepercayaan Pengikut
    Kepercayaan adalah aset berharga bagi TikTokers. Ketika mereka melakukan kesalahan besar atau video mereka dianggap menyinggung pihak tertentu, pengikut mereka mungkin kehilangan kepercayaan. Reaksi dari para pengikut ini bisa berujung pada pembatalan total dukungan terhadap influencer atau bahkan penyebaran kampanye untuk memboikot konten mereka.

  4. Stress Mental dan Dampak Psikologis
    Efek dari cancel culture tidak hanya dirasakan di dunia maya, tetapi juga dapat memengaruhi kesehatan mental TikToker. Dihujani dengan komentar negatif, hinaan, dan kritik dapat menimbulkan stres yang berat. Bahkan beberapa TikTokers mengungkapkan rasa frustrasi dan ketidakmampuan untuk menghadapinya, yang dapat berakibat pada penurunan kesehatan mental mereka.

Kontroversi dan Kritik terhadap Cancel Culture di TikTok

Meskipun cancel culture sering dianggap sebagai sarana untuk menegakkan etika sosial dan menghukum perilaku yang tidak pantas, fenomena ini juga memunculkan banyak kritik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa cancel culture sering kali berlebihan dan tidak memberikan ruang bagi pertumbuhan atau perubahan. Beberapa alasan utama kritik terhadap cancel culture adalah:

  1. Kurangnya Ruang untuk Pertobatan
    Banyak yang merasa bahwa cancel culture sering kali menjatuhkan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi individu yang bersangkutan untuk meminta maaf atau memperbaiki kesalahan mereka. Bagi sebagian orang, ini menciptakan budaya di mana kesalahan kecil atau miskomunikasi dapat menghancurkan karier seseorang tanpa ada kesempatan untuk perbaikan.

  2. Dampak Terhadap Kebebasan Berpendapat
    Beberapa pihak melihat cancel culture sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Mereka berpendapat bahwa individu seharusnya diberikan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat atau opini mereka, meskipun mungkin tidak populer, tanpa takut dihukum atau dibatalkan oleh masyarakat.

  3. Sering Tidak Proporsional
    Dalam beberapa kasus, sanksi yang diberikan dalam cancel culture bisa jadi terlalu berlebihan dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan. Misalnya, kesalahan kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan klarifikasi atau permintaan maaf malah berujung pada penghentian total karier seorang TikToker. Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara kesalahan dan konsekuensinya.

Menghadapi Cancel Culture: Apakah Ada Jalan Keluar?

Bagi TikTokers yang terjebak dalam cancel culture, ada beberapa cara untuk merespons atau menghadapinya. Salah satu cara terbaik adalah dengan mengakui kesalahan secara terbuka jika memang ada yang salah, dan meminta maaf dengan tulus. Menunjukkan bahwa seseorang belajar dari kesalahannya dan berusaha memperbaiki perilaku atau sikap yang dianggap kontroversial bisa menjadi langkah positif.

Selain itu, TikTokers yang terkena cancel culture perlu memahami bahwa mereka tidak selalu bisa memuaskan semua orang. Dalam beberapa kasus, mereka harus mempertimbangkan apakah mereka bisa terus beraktivitas secara sehat di dunia maya atau lebih baik mundur sementara waktu untuk fokus pada diri sendiri.

Share: Facebook Twitter Linkedin
2025-03-23 | admin3

Artis Thailand dan Fenomena Cancel Culture: Dampaknya di Dunia Hiburan

Cancel culture atau budaya batal adalah fenomena sosial yang semakin berkembang di seluruh dunia, tak terkecuali di Thailand. Dalam beberapa tahun terakhir, artis-artis Thailand telah menjadi sasaran kritikan publik yang intens, dengan banyak dari mereka mengalami konsekuensi signifikan akibat kontroversi yang terjadi di media sosial. Fenomena ini memengaruhi karier dan citra mereka, memunculkan perdebatan tentang rajazeus batas-batas kebebasan berekspresi, tanggung jawab publik, dan dampak media sosial terhadap kehidupan pribadi selebriti.

BACA JUGA BERITA LAINNYA DISINI: Tabu Dalam Kehidupan Masyarakat Ingin Jaya Aceh Besar

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture mengacu pada tindakan menghindari atau menghentikan dukungan terhadap individu atau entitas tertentu karena perilaku atau pernyataan mereka yang dianggap tidak pantas atau menyinggung. Fenomena ini sering terjadi di media sosial, di mana kritik dan kecaman dapat tersebar dengan cepat, dan bisa berujung pada kehilangan pekerjaan, kontrak, atau dukungan dari penggemar. Di dunia hiburan, cancel culture bisa berujung pada akhir karier bagi artis yang dianggap telah melanggar norma sosial atau etika yang berlaku.

Fenomena Cancel Culture di Thailand

Di Thailand, fenomena cancel culture mulai marak dalam beberapa tahun terakhir, terutama di kalangan generasi muda yang sangat aktif di media sosial. Salah satu contoh paling mencolok adalah insiden yang melibatkan artis Thailand yang membuat pernyataan kontroversial atau terlibat dalam perilaku yang dianggap tidak etis. Media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram menjadi platform utama di mana kritik dan kecaman terhadap artis bisa menyebar begitu cepat.

Kasus Cancel Culture yang Terkenal di Thailand

1. Pernyataan Kontroversial Artis

Salah satu contoh terkenal tentang cancel culture di Thailand melibatkan seorang artis yang membuat pernyataan yang dianggap tidak sensitif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial. Misalnya, beberapa artis pernah terlibat dalam pernyataan atau perilaku yang dianggap diskriminatif atau merendahkan kelompok tertentu, baik itu tentang gender, ras, atau status sosial. Ketika kontroversi ini terungkap, artis tersebut sering kali mendapatkan reaksi keras dari penggemar dan masyarakat luas yang kemudian memunculkan gerakan cancel.

2. Kontroversi Perilaku Pribadi

Selain pernyataan kontroversial, perilaku pribadi artis juga sering menjadi alasan utama terjadinya cancel culture. Kasus-kasus seperti dugaan kekerasan dalam rumah tangga, masalah narkoba, atau hubungan yang tidak sehat dengan penggemar sering kali menjadi sorotan media dan mengarah pada penghakiman publik. Sebagai contoh, seorang aktor terkenal yang terlibat dalam skandal narkoba atau kasus kekerasan domestik bisa dengan cepat kehilangan kontrak kerja, pekerjaan, dan penggemar, meskipun mereka telah lama dikenal sebagai artis terkenal.

3. Perilaku di Media Sosial

Media sosial memiliki pengaruh besar dalam dunia hiburan Thailand, dan artis yang tidak bijaksana dalam menggunakan platform ini sering kali berisiko mengalami cancel culture. Beberapa artis terlibat dalam perdebatan atau pernyataan yang kontroversial di akun pribadi mereka, yang kemudian menciptakan reaksi berantai. Penggunaan media sosial yang buruk, seperti menyebarkan kebencian, melakukan penghinaan, atau menyinggung kelompok tertentu, dapat berakibat fatal bagi karier seorang artis.

Dampak Cancel Culture pada Karier Artis Thailand

Cancel culture memiliki dampak yang signifikan pada karier artis di Thailand. Dalam dunia hiburan yang sangat bergantung pada citra publik dan dukungan penggemar, satu kesalahan besar bisa membuat artis kehilangan pekerjaan dan penggemar dalam waktu yang sangat singkat. Dampak dari cancel culture ini bisa sangat merusak bagi karier artis, yang sering kali harus menghadapi kehilangan sponsor, penghentian kontrak, atau bahkan dipecat dari produksi film atau acara televisi.

1. Kehilangan Kontrak dan Pekerjaan

Banyak artis yang terlibat dalam skandal atau kontroversi yang membuat mereka dibatalkan atau dihentikan dari berbagai proyek pekerjaan. Kontrak dengan perusahaan-perusahaan besar bisa dibatalkan, dan banyak acara televisi atau film yang menarik diri dari bekerja dengan artis yang telah mengalami cancel culture. Hal ini menyebabkan kerugian finansial yang signifikan dan bisa berakibat pada berkurangnya kesempatan untuk berkarier di masa depan.

2. Pengaruh Negatif pada Reputasi dan Citra

Salah satu dampak terbesar dari cancel culture adalah pengaruh negatifnya terhadap reputasi dan citra publik artis. Penggemar yang kecewa atau marah terhadap tindakan atau pernyataan seorang artis bisa beralih mendukung selebriti lain. Reputasi yang tercemar sering kali sulit untuk dipulihkan, bahkan setelah permintaan maaf atau klarifikasi dari artis tersebut. Dalam beberapa kasus, artis yang pernah terlibat dalam kontroversi yang besar bisa mengalami kesulitan untuk mendapatkan peran besar di dunia hiburan lagi.

3. Tekanan Psikologis dan Emosional

Selain dampak finansial dan profesional, cancel culture juga memberikan tekanan psikologis dan emosional pada artis. Kritik yang datang dari publik dan media sosial bisa sangat menghancurkan bagi mental seorang artis. Ketika terlibat dalam kontroversi besar, artis sering kali harus menghadapi hujatan, kecaman, dan serangan pribadi yang bisa merusak kesehatan mental mereka. Hal ini bisa membuat artis merasa terisolasi dan tertekan.

Perdebatan Tentang Cancel Culture di Thailand

Fenomena cancel culture di Thailand memunculkan banyak perdebatan. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa cancel culture adalah bentuk dari tanggung jawab sosial. Mereka percaya bahwa publik berhak menuntut artis untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan etika yang berlaku. Jika seorang artis melakukan kesalahan yang jelas, mereka harus menghadapi konsekuensinya sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Namun, di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa cancel culture dapat berlebihan dan tidak adil. Beberapa orang merasa bahwa artis-artis yang terlibat dalam kontroversi sering kali mendapatkan hukuman yang tidak proporsional terhadap kesalahan yang mereka buat. Ada yang berpendapat bahwa daripada langsung membatalkan seorang artis, lebih baik memberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan dan belajar dari kesalahan mereka.

Menyikapi Cancel Culture: Apakah Ada Jalan Tengah?

Dalam menghadapi fenomena cancel culture, penting bagi artis untuk bersikap bijak dan berhati-hati, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional mereka. Selain itu, publik dan penggemar juga perlu mempertimbangkan konteks dan dampak dari kritik yang diberikan. Salah satu jalan tengah yang mungkin adalah dengan memberikan kesempatan bagi artis untuk meminta maaf dan menunjukkan pertumbuhan pribadi. Sementara itu, penting juga untuk memahami bahwa setiap orang, termasuk artis, dapat membuat kesalahan, dan penting untuk memberi ruang bagi perbaikan dan pembelajaran.

Share: Facebook Twitter Linkedin
Pertimbangan Yang Membuat Cancel Culture Tepat Atau Tidaknya Dalam Masyarakat
2025-03-04 | admin2

Pertimbangan Yang Membuat Cancel Culture Tepat Atau Tidaknya Dalam Masyarakat

Belakangan, istilah cancel culture jadi kondang di media sosial. Menurut Verywell Mind, cancel culture merupakan praktek menarik simpati penduduk untuk memboikot seseorang maupun grup spesifik yang pernah lakukan kesalahan di era sekarang atau era lalu.

Dampak Cancel Culture

Dampak cancel culture dinilai efisien di dalam memerangi seksisme, rasisme, beraneka model pelecehan, maupun perbuatan merugikan yang beresiko orang lain. Hal ini disampaikan Lisa Nakamura, profesor berasal dari University of Michigan, Amerika Serikat.

1. Mereka yang Menggalakkan Cancel Culture

Ketika melancarkan cancel culture terhadap seseorang maupun grup tertentu, tanpa disadari, hal ini bisa menumbuhkan ego pribadi.

Bukan tidak mungkin, Anda terpancing emosi sehingga mulai paling benar dan nir-kesalahan. Akibatnya, Anda lebih enteng menghakimi orang lain, tetapi kesulitan mengevaluasi diri sendiri.

Terlebih saat cancel culture jadi ajang caci maki dan penyebaran kebencian kepada orang yang tidak Anda senangi. Fitur ini memungkinkan pemain untuk mencoba permainan raja zeus secara gratis dengan taruhan minimal, tetapi tetap memberikan peluang besar untuk menang (maxwin).

“Dampaknya bisa menyebabkan (orang yang menggalakkan cancel culture) jadi berani lakukan suatu hal yang sebenarnya tidak pas ditunaikan (bullying),” sadar Ikhsan.

2. Mereka yang Di-cancel

Ketika praktek cancel culture beralih jadi ajang perundungan, keadaan ini bisa memengaruhi kesegaran mental orang yang “di-cancel”. Mereka yang bisa mulai terisolasi secara sosial, dikucilkan, dan kesepian.

“Mereka terhitung bisa mulai dirinya tidak berharga sehingga mengalami depresi,” kata Ikhsan. Terlebih, mereka tidak diberikan kesempatan maupun ruang dialog fungsi sadar dan memperbaiki kesalahan mereka.

Kendati demikian, terkecuali Anda keliru satu berasal dari orang yang di-cancel, stigma negatif yang disematkan banyak orang bisa dijadikan bahan evaluasi.

Anda perlu sadar kesalahan tersebut, memperbaikinya, dan menegaskan sehingga hal serupa tidak terjadi di lantas hari.

3. Masyarakat yang Menyaksikan

Cancel culture tidak hanya memengaruhi keadaan psikologis mereka yang melancarkan praktek tersebut, maupun orang yang di-cancel. Pemboikotan itu terhitung bisa memengaruhi kesegaran mental penduduk yang menyaksikan.

Baca Juga : Efek Negatif Cancel Culture bagi Kesehatan Mental

Bagi penonton, praktek cancel culture bisa menumbuhkan rasa takut. Pasalnya, pemboikotan yang ditunaikan banyak orang bisa menimbulkan kecemasan seakan orang lain akan membongkar tindakan keliru mereka di era lalu.

Akibatnya, alih-alih turut menolong dan menyuarakan ketidakadilan yang disaksikan, banyak orang memilih diam. Tidak berhenti hingga di situ, usai huru-hara cancel culture selanjutnya berakhir, beberapa orang bisa dihinggapi rasa bersalah. Penyebabnya, sebab saat tersedia kesempatan, mereka mulai tidak membela seseorang yang tertindas.

Share: Facebook Twitter Linkedin