Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini bukan lagi hal asing di dunia maya. Istilah ini merujuk pada aksi kolektif masyarakat, terutama di media sosial, untuk “menghukum” tokoh publik, selebritas, atau siapa pun yang dianggap melakukan kesalahan, baik secara etika, sosial, maupun moral. Namun yang menjadi perhatian serius adalah ketika praktik cancel culture ini dibungkus dengan dalil-dalil agama.
Belakangan, banyak netizen yang tidak sekadar mengecam seseorang karena kesalahannya, tetapi juga melabeli dengan sebutan-sebutan keagamaan seperti “kafir”, “sesat”, atau “murtad”. Bahkan dalam beberapa kasus, ada yang memaksakan iam-love.co pemboikotan atau pengasingan sosial terhadap seseorang dengan mengutip ayat suci atau hadis, seolah menjadi pembenaran mutlak atas tindakan mereka. Kondisi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah benar membatalkan atau menghakimi seseorang di media sosial dengan dalih agama adalah tindakan yang tepat?
Secara esensial, ajaran agama, terutama Islam sebagai agama yang paling sering dikaitkan dalam konteks ini di Indonesia, sangat menjunjung tinggi adab, tabayyun (klarifikasi), serta prinsip kasih sayang. Ketika seseorang bersalah, agama tidak mengajarkan untuk langsung menghakimi tanpa proses klarifikasi. Dalam Islam misalnya, terdapat kaidah bahwa seseorang tidak boleh dihukumi sebelum mendengar penjelasan dan bukti yang sahih. Akan tetapi, netizen sering kali mengambil jalan pintas dengan langsung menyebar kutipan agama tanpa melihat konteksnya secara utuh.
Tindakan ini dapat menimbulkan dua masalah besar. Pertama, penggunaan dalil agama secara sembarangan bisa menyebabkan salah paham terhadap ajaran agama itu sendiri. Orang awam yang membaca komentar tersebut bisa mengira bahwa Islam mendorong untuk memutus silaturahmi atau menghina orang lain jika melakukan kesalahan. Kedua, ini bisa menjadi bentuk kezaliman digital yang berujung pada kekerasan psikologis bagi pihak yang diserang.
Perlu disadari, cancel culture sering kali bergerak berdasarkan emosi dan asumsi, bukan atas prinsip keadilan yang objektif. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk membenarkan cancel culture, yang terjadi justru pembalikan nilai: agama yang sejatinya membawa rahmat dan pencerahan, malah dipakai untuk menjustifikasi pengucilan dan penghukuman sosial.
Sebaliknya, agama mengajarkan pentingnya memberi kesempatan kepada seseorang untuk berubah, memperbaiki diri, dan bertaubat. Dalam banyak kisah tokoh-tokoh spiritual, bahkan orang yang pernah berdosa besar tetap diberikan pintu maaf dan ruang untuk memperbaiki hidupnya. Jika media sosial hari ini justru menutup pintu itu, maka kita patut bertanya: di mana letak nilai spiritualitasnya?
Menyoroti fenomena ini bukan berarti membenarkan kesalahan yang dilakukan oleh publik figur atau tokoh tertentu. Kritik dan pengingat memang diperlukan. Namun, akan lebih bijak bila dilakukan dengan cara yang beradab, penuh empati, dan jauh dari semangat menghakimi. Cancel culture yang dibungkus dalil agama justru bisa menodai pesan agama itu sendiri, menjadikannya alat kekuasaan massa alih-alih sebagai sumber kasih dan kebaikan.
Pada akhirnya, media sosial memang memberi kekuatan pada publik, namun kekuatan itu perlu disertai dengan tanggung jawab moral. Kritik boleh, tapi menghakimi tanpa belas kasih bukanlah ajaran agama mana pun.
BACA JUGA: Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati