
Cancel Culture 2025: Ketika Netizen Jadi Hakim di Dunia Maya Indonesia
Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan terus berkembang di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Muncul sebagai bentuk protes terhadap perilaku bermasalah dari figur publik, selebriti, maupun tokoh politik, cancel culture kini berkembang menjadi alat yang tajam sekaligus kontroversial di tangan warganet. Dalam banyak kasus, netizen Indonesia bahkan dianggap telah menjadi “hakim” digital yang menentukan siapa layak dihargai dan siapa yang harus dikucilkan.
Namun apakah ini bentuk kesadaran kolektif yang sehat? Ataukah justru menjadi praktik persekusi massal yang merugikan?
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah praktik sosial di mana seseorang atau kelompok dihentikan dukungannya secara publik—sering kali melalui media sosial—karena tindakan, pernyataan, atau pandangan yang dianggap ofensif, kontroversial, atau tidak sesuai dengan nilai moral masyarakat. Bentuknya bisa berupa:
-
Ajakan untuk unfollow di media sosial
-
Seruan boikot produk atau karya
-
Penyebaran tagar seperti #Cancel[namatarget]
-
Penggalian kesalahan masa lalu (digital digging)
Tren Cancel Culture di Indonesia Tahun 2025
Tahun 2025 menyaksikan lonjakan kasus cancel culture di Indonesia. Penyebabnya beragam—mulai dari isu moral, politik, agama, hingga kesalahan kecil di masa lalu. Beberapa tren mencolok meliputi:
1. Semakin Cepat, Semakin Viral
Dalam hitungan jam, sebuah video atau pernyataan bisa viral dan langsung memicu gelombang kemarahan warganet. Belum sempat klarifikasi dilakukan, target cancel sudah dihujat habis-habisan.
2. Target yang Semakin Luas
Dulu hanya selebriti dan tokoh publik yang jadi sasaran. Kini, influencer mikro, content creator kecil, bahkan individu biasa bisa tiba-tiba jadi “musuh bersama” karena sebuah postingan viral.
3. Tajam di Dunia Hiburan dan Politik
Figur publik yang tersandung isu rasisme, seksisme, body shaming, LGBT, atau politik identitas rentan jadi target. Bahkan salah mengucap satu kata sensitif saja bisa langsung memicu gelombang pembatalan.
Kekuatan dan Bahaya Cancel Culture
Cancel culture kerap dipandang sebagai bentuk akuntabilitas sosial. Ketika sistem hukum lamban atau tidak mampu memberikan keadilan, netizen mengambil peran sebagai “penegak moral”.
Contoh positif:
Kasus-kasus pelecehan seksual yang terangkat karena korban bersuara di media sosial dan mendapat dukungan publik. Dalam beberapa kasus, cancel culture mendorong investigasi dan tindakan nyata dari pihak berwenang.
Namun, cancel culture juga punya sisi gelap:
1. Tanpa Proses dan Klarifikasi
Seseorang bisa langsung dihakimi sebelum sempat memberikan penjelasan. Praduga tak bersalah kerap diabaikan.
2. Efek Jangka Panjang
Korban pembatalan bisa kehilangan pekerjaan, mengalami gangguan mental, atau bahkan dikucilkan sosial secara permanen. Dalam kasus ekstrem, ada yang sampai bunuh diri karena tekanan publik.
3. Salah Sasaran
Kadang orang yang tidak bersalah ikut terseret. Salah satu contohnya adalah kasus salah identitas—netizen memburu akun atau orang yang ternyata bukan pelaku sebenarnya.
Siapa Saja yang Bisa Kena Cancel?
Tak ada yang kebal. Berikut profil umum target cancel culture di Indonesia 2025:
-
Artis dan musisi: karena ucapan kontroversial, gaya hidup, atau sikap politis
-
Influencer media sosial: karena dianggap toxic, menyebarkan hoaks, atau bersikap tidak sensitif
-
Politikus dan pejabat publik: karena korupsi, pelanggaran etika, atau rekam jejak buruk
-
Merek dagang atau brand: karena bekerja sama dengan figur yang dibatalkan atau karena isu CSR
Netizen: Kekuatan Rakyat atau Teror Publik?
Di satu sisi, cancel culture membuktikan rajazeus link alternatif kekuatan kolektif masyarakat digital. Tapi ketika amarah lebih dominan daripada logika, hasilnya adalah penghakiman massa. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar:
-
Apakah semua orang layak mendapat kesempatan untuk berubah?
-
Siapa yang berhak memutuskan bahwa seseorang harus dikucilkan selamanya?
-
Apakah kita hanya ikut tren membatalkan tanpa berpikir kritis?
Menuju Budaya Kritik yang Lebih Dewasa
Cancel culture bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan—jika digunakan dengan bijak. Namun untuk itu, kita perlu membangun budaya kritik yang sehat:
-
Pisahkan antara kritik dan hujatan
-
Berikan ruang klarifikasi sebelum membentuk opini publik
-
Fokus pada edukasi, bukan hanya penghakiman
-
Gunakan media sosial dengan empati dan tanggung jawab
-
Pahami konteks dan fakta sebelum menyebarkan sesuatu
BACA JUGA: Membatalkan di Era Global: Cancel Culture dalam Perspektif Budaya Dunia

Membatalkan di Era Global: Cancel Culture dalam Perspektif Budaya Dunia
Di era digital yang serba cepat, satu kesalahan di internet rajazeus link alternatif bisa membawa konsekuensi besar. Kata-kata, tindakan, atau bahkan pernyataan di masa lalu bisa diangkat kembali dan menjadi pemicu bagi publik untuk “membatalkan” seseorang atau suatu entitas. Fenomena ini dikenal luas sebagai Cancel Culture.
Istilah ini telah menjadi bagian penting dari percakapan global — baik di dunia hiburan, politik, hingga bisnis — dan menimbulkan perdebatan besar: apakah cancel culture merupakan bentuk keadilan sosial atau justru penghakiman massa digital yang tak adil?
Artikel ini mengulas cancel culture dari sudut pandang global, bagaimana setiap budaya menyikapinya, serta dampaknya terhadap masyarakat dan individu.
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture merujuk pada praktik kolektif masyarakat — khususnya di media sosial — untuk memboikot, menarik dukungan, atau membungkam seseorang atau organisasi karena dianggap telah melakukan hal yang salah, tidak pantas, atau ofensif secara moral maupun sosial.
Contohnya bisa beragam: dari selebritas yang membuat komentar rasis, perusahaan yang tidak mendukung hak-hak minoritas, hingga politikus yang terlibat skandal.
Di satu sisi, cancel culture dianggap sebagai alat kontrol sosial dan bentuk akuntabilitas. Namun di sisi lain, ini juga bisa menjadi bentuk pembungkaman, terutama ketika dilakukan tanpa fakta utuh atau ruang untuk perbaikan.
Cancel Culture dalam Konteks Global
1. Amerika Serikat: Lahirnya Istilah “Cancel Culture”
AS adalah tempat di mana istilah ini pertama kali populer, khususnya melalui Twitter. Budaya bebas berpendapat yang kuat, dikombinasikan dengan masyarakat yang sangat terpolarisasi secara politik, membuat cancel culture berkembang pesat. Selebriti, CEO, hingga profesor universitas bisa “dibatalkan” dalam semalam karena kontroversi yang viral.
Contoh: J.K. Rowling dikritik keras karena komentarnya soal transgender, hingga menyebabkan banyak penggemar “membatalkan” dirinya meskipun karya Harry Potter tetap populer.
2. Korea Selatan: Budaya Perfeksionisme dan Pengaruh Netizen
Di Korea Selatan, cancel culture muncul dalam bentuk yang sangat kuat, terutama terhadap idol K-pop dan aktor. Karena budaya kerja keras dan ekspektasi tinggi, kesalahan sekecil apa pun bisa berujung pada permintaan maaf publik atau bahkan penghentian karier.
Contoh: Banyak artis yang kariernya tamat karena komentar masa lalu, dugaan bullying, atau perbuatan yang dianggap tidak sopan oleh publik.
3. Jepang: Budaya Malu dan Diamnya Pembatalan
Di Jepang, pembatalan terjadi lebih halus dan pasif. Masyarakat jarang menyerang langsung, tetapi mengekspresikan ketidaksetujuan melalui pengabaian sosial atau “pembekuan” dari komunitas. Individu atau tokoh publik bisa kehilangan pekerjaan, peran TV, atau kontrak tanpa banyak penjelasan publik.
4. Eropa: Campuran Toleransi dan Kritik Terbuka
Di Eropa, cancel culture memiliki karakter yang beragam tergantung negara. Di Inggris dan Prancis, misalnya, debat seputar kebebasan berpendapat vs tanggung jawab sosial menjadi inti. Banyak tokoh yang dibatalkan namun juga didukung oleh kelompok yang membela kebebasan berekspresi.
5. Indonesia: Cancel Culture yang Muncul Bersama Netizen +62
Cancel culture di Indonesia semakin terasa seiring meningkatnya pengguna media sosial. Tokoh publik, influencer, hingga brand lokal kini harus berhati-hati karena komentar yang dinilai salah bisa langsung viral dan diserang oleh netizen.
Contoh: Kasus-kasus komentar artis tentang isu sensitif seperti agama, gender, atau politik bisa langsung berujung trending dan boikot. Namun, ada juga kasus di mana netizen cepat “memaafkan” setelah klarifikasi.
Dampak Cancel Culture: Dua Sisi Mata Uang
💡 Positif:
-
Mendorong akuntabilitas sosial.
-
Memberikan suara pada kelompok yang selama ini terpinggirkan.
-
Mengangkat isu-isu penting seperti rasisme, seksisme, atau pelecehan.
⚠️ Negatif:
-
Tidak memberi ruang untuk rehabilitasi atau pertobatan.
-
Bisa menjadi persekusi online dan menyebabkan dampak psikologis.
-
Tidak selalu berdasarkan informasi yang akurat, sehingga memicu trial by social media.
Apakah Cancel Culture Bisa Diseimbangkan?
Muncul gagasan bahwa cancel culture perlu digantikan dengan pendekatan “accountability culture” — yakni, bukan hanya menghukum, tetapi mendorong pertanggungjawaban, pemulihan, dan edukasi.
Beberapa tokoh seperti Trevor Noah dan Barack Obama menyuarakan bahwa “memanggil” (call out) lebih baik daripada “membatalkan” jika ingin membangun masyarakat yang lebih adil dan sadar.
Kesimpulan: Dunia di Persimpangan Digital
BACA JUGA: Viral dalam Hitungan Jam: Mekanisme Penyebaran Cancel Culture di Platform Digital
Cancel culture menunjukkan betapa kuatnya suara publik di era digital. Dunia kini berada di persimpangan: antara mendukung keadilan sosial dan menjaga ruang dialog yang sehat. Cara tiap budaya menangani pembatalan mencerminkan nilai-nilai dan sensitivitas sosial masing-masing.
Yang pasti, dunia maya kini bukan sekadar tempat berbagi, tapi juga ruang pengadilan sosial yang nyata. Dan kita semua — netizen global — adalah juri sekaligus peserta dalam drama besar bernama cancel culture.