
Viral dalam Hitungan Jam: Mekanisme Penyebaran Cancel Culture di Platform Digital
Di era digital saat ini, konsep “cancel culture” atau budaya pembatalan telah menjadi fenomena yang merubah cara kita berinteraksi di dunia maya. Cancel culture merujuk pada tindakan kolektif untuk mengutuk atau “membatalkan” seseorang, biasanya seorang figur publik atau perusahaan, yang dianggap telah melakukan kesalahan atau pelanggaran tertentu. Dengan adanya media sosial dan platform digital lainnya, berita atau kritik terhadap seseorang bisa menyebar dengan sangat cepat, terkadang hanya dalam hitungan jam. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan, baik dari segi dampak sosial maupun mekanisme penyebarannya.
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah gerakan sosial yang menuntut pertanggungjawaban dari seseorang atas tindakan atau kata-kata yang dianggap tidak pantas, tidak etis, atau kontroversial. Individu atau entitas yang terkena cancel culture biasanya akan kehilangan dukungan publik, dihujat di media sosial, atau bahkan ditarik kontraknya oleh berbagai perusahaan atau institusi. Tindakan pembatalan ini sering kali terjadi sebagai respons terhadap pernyataan atau perilaku yang dianggap ofensif, diskriminatif, atau menyakitkan bagi kelompok tertentu.
Contoh paling sederhana dari cancel culture adalah ketika seorang selebriti membuat pernyataan kontroversial yang memicu kemarahan publik, dan dalam waktu singkat, tagar di media sosial seperti Twitter atau Instagram mulai bermunculan untuk menuntut “pembatalan” atau boikot terhadap orang tersebut. Namun, meskipun dapat memberikan dampak langsung terhadap individu atau organisasi yang terlibat, fenomena ini juga menimbulkan perdebatan tentang batasan kebebasan berbicara dan akibat dari persepsi cepat di dunia maya.
Mekanisme Penyebaran Cancel Culture di Platform Digital
Cancel culture semakin masif dengan adanya media sosial, di mana informasi bisa tersebar dengan cepat dan meluas. Berikut adalah beberapa mekanisme yang membuat cancel culture dapat menyebar dalam hitungan jam:
-
Penyebaran Informasi Secara Instan Platform digital seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memungkinkan informasi untuk tersebar dengan sangat cepat. Ketika seseorang melakukan kesalahan atau pernyataan yang kontroversial, berita tersebut bisa menjadi viral dalam hitungan menit atau jam. Melalui tweet, unggahan, atau video, individu atau kelompok yang merasa tersinggung dapat langsung mengungkapkan ketidakpuasan mereka kepada audiens yang lebih luas.
Hashtag menjadi salah satu alat paling kuat dalam mempercepat penyebaran informasi. Misalnya, tagar seperti #CancelXYZ atau #BoycottXYZ dapat dengan mudah menarik perhatian publik dan menyatukan orang-orang yang sepaham, mempercepat proses pembatalan.
-
Masyarakat Berbicara dengan Kolektif Cancel culture sering kali tidak hanya melibatkan satu orang atau kelompok yang menyerang, tetapi lebih kepada gerakan kolektif dari masyarakat yang berinteraksi di media sosial. Ketika sebuah isu kontroversial muncul, banyak orang yang ikut berpartisipasi dengan membagikan pendapat mereka, membuat meme, atau memberikan respons emosional. Reaksi massal ini menciptakan efek bola salju, di mana semakin banyak orang terlibat dalam pembicaraan yang semakin meluas.
-
Dampak Algoritma Media Sosial Algoritma media sosial memainkan peran besar dalam penyebaran cancel culture. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menggunakan algoritma yang memprioritaskan konten yang mendapat banyak interaksi. Ketika sebuah postingan atau tweet mengenai kontroversi mendapat banyak like, komentar, dan dibagikan, algoritma akan memastikan bahwa konten tersebut muncul di feed lebih banyak orang.
Hal ini berarti bahwa sekali sebuah topik menjadi viral, konten terkait akan terus tersebar, menjangkau lebih banyak orang dengan cepat. Dalam banyak kasus, reaksi atau respons terhadap kontroversi semakin intens dan cepat berkembang, menciptakan “lingkaran umpan balik” yang semakin memperburuk situasi.
-
Eskalasi Emosi dan Sensasi Di dunia digital, reaksi terhadap pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas sering kali disertai dengan reaksi emosional yang kuat. Setiap komentar atau post yang muncul bisa menambah bahan bakar untuk eskalasi emosi, dengan orang-orang yang terlibat merasa semakin terprovokasi untuk melibatkan diri dalam debat atau bahkan menyerang individu yang terlibat dalam kontroversi.
Konten yang berisi informasi sensasional atau provokatif lebih cenderung untuk dibagikan karena orang lebih tertarik pada reaksi emosional daripada analisis yang lebih rasional. Hal ini mempercepat proses penyebaran raja zeus slot informasi dan memperbesar dampak dari cancel culture.
-
Peran Influencer dan Media Sosial Influencer dan figur publik di media sosial memainkan peran penting dalam mempercepat penyebaran cancel culture. Ketika seseorang yang memiliki pengaruh besar di dunia maya berbicara atau memberikan pendapat mengenai suatu kontroversi, itu dapat meningkatkan visibilitas isu tersebut. Influencer yang ikut berpartisipasi dalam pembatalan atau yang mengutuk tindakan seseorang dapat membawa lebih banyak perhatian dari pengikut mereka, menciptakan gelombang reaksi yang lebih besar.
Media sosial juga memberikan ruang bagi media alternatif untuk berkembang, yang memungkinkan konten-konten terkait dengan cancel culture dapat menyebar tanpa harus melewati penyaringan tradisional dari media mainstream.
Dampak dari Cancel Culture
1. Kehilangan Karir dan Reputasi Salah satu dampak paling jelas dari cancel culture adalah kerugian reputasi dan bahkan hilangnya karir. Selebriti, influencer, bahkan perusahaan besar bisa terkena dampaknya. Kontroversi yang berkaitan dengan perilaku atau pernyataan tertentu dapat menyebabkan hilangnya kontrak, kerjasama bisnis, atau bahkan pemberhentian dari pekerjaan.
2. Pembatasan Kebebasan Berbicara? Banyak orang berpendapat bahwa cancel culture membatasi kebebasan berbicara, karena seseorang yang menyatakan pendapat yang kontroversial bisa berisiko dibatalkan tanpa kesempatan untuk menjelaskan atau meminta maaf terlebih dahulu. Ini menjadi perdebatan mengenai apakah gerakan ini berfungsi sebagai kontrol sosial atau justru merugikan kebebasan berpendapat.
3. Polarisasi Sosial Meskipun cancel culture dapat bertindak sebagai alat untuk mengungkapkan ketidakpuasan terhadap perilaku yang tidak etis, ia juga dapat menyebabkan polarisasi di masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam debat mengenai isu ini sering kali menjadi sangat terbelah, dengan masing-masing pihak memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang siapa yang pantas untuk “dibatalkan” dan siapa yang tidak.
BACA JUGA: Aksi Penolakan di Indonesia 2025: Protes Sosial yang Mewarnai Tahun 2025

Dampak Buruk Cancel Culture dan Kontroversi Istilah Ini
Cancel culture telah menjadi isu besar dalam masyarakat modern, khususnya di era media sosial. Fenomena ini, meski awalnya bertujuan untuk mengedepankan pertanggungjawaban sosial, kini justru menimbulkan dampak negatif yang serius bagi individu yang terlibat. Salah satu contoh terbaru adalah kabar duka meninggalnya aktris Korea Selatan, Kim Sae Ron, yang diduga mengalami tekanan mental akibat cancel culture.
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah istilah yang merujuk pada sebuah situasi di mana seseorang, biasanya seorang tokoh publik, mengalami boikot atau pengucilan sosial setelah melakukan kesalahan atau membuat pernyataan yang dianggap menyinggung. Pada awalnya, konsep ini dikenal sebagai call-out culture, di mana pelaku kesalahan diberi kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri. Namun, dalam cancel culture, kesempatan untuk mengklarifikasi slot spaceman atau meminta maaf hampir tidak ada, dan seringkali korban langsung diboikot tanpa ruang untuk pertahanan.
Asal-Usul Istilah Cancel Culture
Kata cancel culture pertama kali muncul dalam sebuah adegan di film New Jack City pada 1991, di mana karakter Nino Brown berkata, “Batalkan dia,” yang merujuk pada mantan pacarnya. Frasa ini tidak langsung populer, tetapi pada tahun 2014, muncul lagi dalam sebuah episode acara Love and Hip-Hop: New York, dengan ucapan “You’re canceled.” Seiring waktu, frasa ini berkembang menjadi bentuk pengucilan sosial yang kini dikenal sebagai cancel culture.
Dampak Cancel Culture terhadap Kesehatan Mental
Fenomena cancel culture tidak hanya berdampak pada reputasi seseorang, tetapi juga dapat menyebabkan tekanan mental yang sangat besar. Korban dari cancel culture sering kali merasa terisolasi dan diserang tanpa diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan atau meminta maaf. Situasi ini menyebabkan perasaan kesepian yang mendalam dan, dalam beberapa kasus, berujung pada kecemasan, depresi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Baca Juga : https://www.projectbolo.com/cancel-culture-fenomena-boikot-di-era-digital/
Ketakutan dan Rasa Bersalah
Menurut Therapy Group DC, ketakutan terhadap cancel culture dapat menyebabkan kecemasan yang mendalam di kalangan individu. Ketakutan bahwa setiap perkataan atau tindakan bisa diperiksa dan dipermasalahkan membuat banyak orang memilih untuk diam. Mereka merasa tertekan, tidak berdaya, dan sering kali dibebani dengan rasa bersalah karena tidak bisa membela diri atau orang lain.
Cancel Culture vs. Call-Out Culture
Penting untuk membedakan antara cancel culture dan call-out culture. Dalam call-out culture, ada ruang bagi individu untuk memperbaiki kesalahannya melalui diskusi dan klarifikasi. Namun, dalam cancel culture, ruang untuk berbicara atau memperbaiki diri hampir tidak ada, dan hukuman sosial terasa langsung dan keras.
Kesimpulan: Dampak Negatif Cancel Culture
Secara keseluruhan, meskipun cancel culture bertujuan untuk memberi efek jera terhadap perilaku yang dianggap salah, dampaknya sering kali lebih merugikan daripada memberikan pembelajaran. Dalam banyak kasus, fenomena ini menimbulkan perasaan terisolasi dan stres mental yang besar bagi individu yang menjadi korban. Jika tidak dihadapi dengan bijaksana, cancel culture justru berpotensi memperburuk kondisi sosial dan psikologis seseorang, serta menciptakan iklim ketakutan dalam masyarakat.

Membahas Cancel Culture: Pengertian, Kemunculan, dan Baik-Buruknya
Akhir-akhir ini, istilah https://www.braxtonatlakenorman.com/ cancel culture kerap kali dilontarkan di media sosial. Label “cancelled” malahan kerap kali dikasih kepada pekerja seni atau figur publik yang berasal dari luar ataupun dalam negeri. Tidak hanya orang, merek malahan dapat dikasih label cancelled.
Langsung, apa itu cancel culture? Apakah cancel culture lebih banyak membawa imbas positif atau negatif? Simak pembahasannya di tulisan berikut.
Apa Itu Cancel Culture?
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan cancel culture sebagai aksi meng-cancel secara beramai-ramai untuk memperlihatkan rasa tidak sependapat dan memberikan tekanan sosial. Sementara cancel di sini maksudnya menarik dukungan kepada seseorang atau sesuatu secara publik, terutamanya di media sosial.
Herve Saint-Louis, asisten profesor media berkembang di University of Quebec at Chicoutimi, menerangkan bahwa aksi cancel diberi tuntunan pada individu yang bertindak melawan tradisi dan norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Baca Juga : Apa Itu Cancel Culture dan Contohnya: Fenomena Kontroversial di Era Digital
Kemunculan Cancel Culture
Dikutip dari Vox, kemunculan istilah cancel salah satunya berasal dari film New Jack City (1991). Dalam sebuah adegan di mana seorang pria menetapkan kekerabatan dengan pacarnya, ia menerapkan kata “cancel”. Jadi, istilah cancel mulanya berarti menghapus seseorang dari kehidupan kita.
Istilah ini kemudian menjadi populer di tahun 2014, ketika salah satu artis film pria reality show Love and Hip-Hop: New York mengatakan “You’re canceled” kepada pacarnya ketika mereka berantem.
Istilah cancel malahan menjadi populer di Twitter dan digunakan sebagai tanggapan atas suatu tindakan yang tidak kita setujui. Istilah ini dapat digunakan dalam konteks serius ataupun bersenda gurau. Mulanya istilah cancel digunakan di kalangan teman atau kenalan, tetapi kemudian berevolusi menjadi tanggapan kepada selebriti atau merek.
Cancel Culture di Kalangan Contoh Publik dan Merek Familiar
Cancel culture kerap kali ditargetkan pada figur publik dan merek tertentu. Misalnya, fenomena cancel culture sempat terjadi atas J. K. Rowling, penulis serial Harry Potter. Pandangannya yang kontroversial membuatnya di-cancel oleh pengguna internet. Pengguna malahan ramai-ramai menyerukan untuk stop mendorong J. K. Rowling dan memboikot produk Harry Potter, mulai dari buku hingga penyesuaian diri filmnya.
Merek familiar Balenciaga malahan pernah menjadi target cancel culture. Mengutip The Cut, pada November 2022, Balenciaga merilis photoshoot yang memperlihatkan figur buah hati membawa boneka yang berpakaian vulgar. Kesudahannya, Balenciaga dan creative directornya dihujani kecaman dari pengguna internet dan malahan selebriti seperti Julia Fox dan Kim Kardashian.
Dua Sisi di Balik Cancel Culture
Jadi, apakah cancel culture lebih banyak membawa imbas positif atau negatif? Mengutip tulisan yang diterbitkan di Megashift Fisipol UGM, cancel culture dapat diamati dari dua sisi yang berbeda.

Benarkah “Cancel Culture” Nyata Terjadi di Indonesia?
Menurutmu benarkah cancel culture sudah terjadi di Indonesia? Apakah ini sekadar fenomena atau akan ada momen maupun kejadian lain yang bisa terjadi serupa?
Selain itu, apakah itu adil bagi pengkarya yang mana juga terdampak pada karya-karya selanjutnya?
Cancel culture ini bisa dibilan sebuah gerakan yang umumnya terjadi di dunia maya. Umumnya gerakan ini bertujuan untuk memboikot atau menghukum seseorang maupun kelompok akibat tindakannya yang (dianggap) salah.
Akan tetapi –umumnya– gerakan ini biasanya muncul dalam pembahasan terkait misogini, ras, dan orientasi seksual.
Sayangnya, karena ini terjadi di ranah maya, maka cancel culture bisa terjadi dalam topik apa saja dan kepada siapa saja.
Pada beberapa kasus, misalnya, semula memang berupa perundungan yang ditujukan jknailsbeauty.com pada suatu masalah. Tetapi, saking tidak terkontrolnya dan bubble media sosial bisa berujung pada cancel culture yang belakang sudah berkembang di beberapa negara.
Diskursus ini jadi menarik karena ada pemahaman etis dan tidaknya cancel culture ini. Pasalnya, standar itu berbeda pada setiap orang, kan?
Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai fenomena ini? Benarkah ini bisa terjadi di Indonesia? Jika, ya, sebagai pembelajaran adakah hal-hal yang bisa kita antisipasi agar ini tidak terjadi pada kita?
Tidak hanya itu, dampak apa yang kemudian bisa terjadi jika ini benar sudah terjadi di Indonesia? Silakan tambah label Dampak Cancel Culture (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Cancel culture, atau “budaya pembatalan”, adalah sebuah fenomena di mana individu atau kelompok dihukum atau diasingkan secara sosial karena tindakan atau perkataan yang dianggap tidak pantas, ofensif, atau berkonotasi negatif. Fenomena ini semakin berkembang di media sosial, di mana publik dapat dengan cepat mengkritik atau “membatalkan” figur publik atau bahkan perusahaan yang dianggap melanggar norma sosial atau etika.
Baca Juga : Warga Amerika dan ‘Budaya Pembatalan’: Sebagian Melihatnya Sebagai Seruan Akuntabilitas
Asal Mula Cancel Culture
Cancel culture berkembang pesat dengan adanya media sosial, di mana pengguna dapat saling terhubung dan berbagi pendapat dalam waktu yang sangat cepat. Gerakan ini mulai populer sekitar awal tahun 2010-an, dengan munculnya hashtag seperti #CancelKardashians dan #MeToo, yang memberikan ruang bagi orang-orang untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan kekuasaan, diskriminasi, atau pelecehan. Meskipun demikian, istilah “canceling” itu sendiri sudah ada sejak lama, meskipun lebih terbatas dalam penggunaan.
Cara Kerja Cancel Culture
Cancel culture biasanya dimulai dengan adanya pernyataan atau tindakan kontroversial dari seseorang—baik itu seorang selebriti, politisi, influencer, atau perusahaan. Ketika suatu pihak merasa bahwa tindakan atau perkataan tersebut tidak dapat diterima, mereka kemudian mengajak orang lain untuk “membatalkan” atau mengkritik individu atau entitas tersebut, sering kali melalui platform media sosial seperti Twitter, Instagram, atau TikTok. Ini dapat mencakup seruan untuk berhenti mengikuti akun media sosial mereka, berhenti membeli produk mereka, atau menarik dukungan finansial terhadap mereka.