Maret 22, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

2025-02-26 | admin8

Cancel Culture: Fenomena Boikot di Era Digital

Cancel culture merujuk pada tindakan memboikot atau menghentikan dukungan terhadap individu yang dianggap melakukan perilaku atau mengungkapkan pendapat yang tidak sesuai dengan norma atau etika tertentu. Fenomena slot server jepang ini banyak terjadi melalui media sosial, di mana publik secara kolektif menghakimi dan menuntut konsekuensi dari perilaku buruk yang dilakukan oleh public figure, seperti selebritas atau politisi.

Contoh Kasus Cancel Culture di Indonesia

Di Indonesia, beberapa kasus cancel culture yang mencuat ke permukaan antara lain:

  • Gofar Hilman, yang kehilangan sejumlah pekerjaan setelah diduga melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa perempuan.
  • Ayu Ting Ting, yang sempat diboikot dan dilarang tampil di televisi setelah menendang kru dalam sebuah acara langsung.
  • Listy Chan dan Ericko Lim, yang kehilangan banyak pengikut di YouTube setelah terlibat skandal perselingkuhan.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana cancel culture dapat menghancurkan reputasi seseorang dalam sekejap.

Fenomena Cancel Culture di Dunia Internasional

Di luar Indonesia, fenomena ini juga mencuat di berbagai belahan dunia, seperti:

  • JK Rowling, yang diserang karena komentar yang dianggap transfobik terhadap komunitas transgender.
  • Johnny Depp, yang mengalami boikot setelah tuduhan kekerasan terhadap Amber Heard, meski akhirnya terbukti sebaliknya.
  • Kim Seon Ho, artis Korea Selatan yang kehilangan banyak kontrak kerja setelah dituduh memaksa mantan kekasihnya untuk melakukan aborsi.

Baca Juga : https://www.projectbolo.com/efek-negatif-cancel-culture-bagi-kesehatan-mental/

Dampak Cancel Culture

Meski cancel culture bisa menegakkan keadilan, fenomena ini juga dapat menimbulkan dampak buruk, baik bagi individu yang menjadi korban maupun masyarakat secara keseluruhan.

1. Risiko Depresi dan Gangguan Mental

Cancel culture sering berujung pada perundungan massal, yang dapat mengisolasi korban dan memperburuk kondisi mental mereka. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal BMC Psychiatry (2017) menunjukkan bahwa perundungan semacam ini dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.

2. Menggali Trauma Lama pada Korban

Dalam banyak kasus, korban dari individu yang diboikot harus kembali membuka luka lama mereka sebagai bagian dari pembelaan publik. Hal ini dapat memicu trauma yang sebelumnya berusaha mereka lupakan. Ketika fenomena ini terjadi secara masif, bisa jadi mereka dipaksa untuk menghadapi trauma tersebut lagi, yang memperburuk kesehatan mental mereka.

3. Kehilangan Kebebasan Berpendapat

Salah satu dampak negatif lain dari cancel culture adalah membuat orang merasa takut untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda. Ketakutan akan menjadi korban boikot membuat banyak orang memilih untuk diam atau menyembunyikan pendapat mereka. Akibatnya, diskusi publik bisa menjadi kurang dinamis dan terbatas pada satu perspektif saja.

Apakah Cancel Culture Selalu Buruk?

Meskipun cancel culture seringkali membawa dampak negatif, ada juga sisi positifnya. Fenomena ini dapat berfungsi sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial yang efektif untuk individu atau institusi yang melanggar norma atau hukum yang berlaku. Cancel culture bisa menjadi alat untuk mengoreksi perilaku buruk di kalangan public figure yang sulit dihukum secara hukum.

Solusi dan Langkah Selanjutnya

Jika Anda merasa terganggu oleh dampak cancel culture, berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater bisa menjadi langkah yang bijak. Dukungan profesional dapat membantu individu yang terdampak untuk mengatasi masalah mental yang muncul akibat perundungan atau boikot yang mereka alami.

Share: Facebook Twitter Linkedin
Cancel Culture
2025-02-10 | admin9

Benarkah “Cancel Culture” Nyata Terjadi di Indonesia?

Menurutmu benarkah cancel culture sudah terjadi di Indonesia? Apakah ini sekadar fenomena atau akan ada momen maupun kejadian lain yang bisa terjadi serupa?

Selain itu, apakah itu adil bagi pengkarya yang mana juga terdampak pada karya-karya selanjutnya?

Cancel culture ini bisa dibilan sebuah gerakan yang umumnya terjadi di dunia maya. Umumnya gerakan ini bertujuan untuk memboikot atau menghukum seseorang maupun kelompok akibat tindakannya yang (dianggap) salah.

Akan tetapi –umumnya– gerakan ini biasanya muncul dalam pembahasan terkait misogini, ras, dan orientasi seksual.

Sayangnya, karena ini terjadi di ranah maya, maka cancel culture bisa terjadi dalam topik apa saja dan kepada siapa saja.

Pada beberapa kasus, misalnya, semula memang berupa perundungan yang ditujukan jknailsbeauty.com pada suatu masalah. Tetapi, saking tidak terkontrolnya dan bubble media sosial bisa berujung pada cancel culture yang belakang sudah berkembang di beberapa negara.

Diskursus ini jadi menarik karena ada pemahaman etis dan tidaknya cancel culture ini. Pasalnya, standar itu berbeda pada setiap orang, kan?

Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai fenomena ini? Benarkah ini bisa terjadi di Indonesia? Jika, ya, sebagai pembelajaran adakah hal-hal yang bisa kita antisipasi agar ini tidak terjadi pada kita?

Tidak hanya itu, dampak apa yang kemudian bisa terjadi jika ini benar sudah terjadi di Indonesia? Silakan tambah label Dampak Cancel Culture (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.

Cancel culture, atau “budaya pembatalan”, adalah sebuah fenomena di mana individu atau kelompok dihukum atau diasingkan secara sosial karena tindakan atau perkataan yang dianggap tidak pantas, ofensif, atau berkonotasi negatif. Fenomena ini semakin berkembang di media sosial, di mana publik dapat dengan cepat mengkritik atau “membatalkan” figur publik atau bahkan perusahaan yang dianggap melanggar norma sosial atau etika.

Baca Juga : Warga Amerika dan ‘Budaya Pembatalan’: Sebagian Melihatnya Sebagai Seruan Akuntabilitas

Asal Mula Cancel Culture
Cancel culture berkembang pesat dengan adanya media sosial, di mana pengguna dapat saling terhubung dan berbagi pendapat dalam waktu yang sangat cepat. Gerakan ini mulai populer sekitar awal tahun 2010-an, dengan munculnya hashtag seperti #CancelKardashians dan #MeToo, yang memberikan ruang bagi orang-orang untuk berbicara tentang pengalaman mereka dengan kekuasaan, diskriminasi, atau pelecehan. Meskipun demikian, istilah “canceling” itu sendiri sudah ada sejak lama, meskipun lebih terbatas dalam penggunaan.

Cara Kerja Cancel Culture
Cancel culture biasanya dimulai dengan adanya pernyataan atau tindakan kontroversial dari seseorang—baik itu seorang selebriti, politisi, influencer, atau perusahaan. Ketika suatu pihak merasa bahwa tindakan atau perkataan tersebut tidak dapat diterima, mereka kemudian mengajak orang lain untuk “membatalkan” atau mengkritik individu atau entitas tersebut, sering kali melalui platform media sosial seperti Twitter, Instagram, atau TikTok. Ini dapat mencakup seruan untuk berhenti mengikuti akun media sosial mereka, berhenti membeli produk mereka, atau menarik dukungan finansial terhadap mereka.

Share: Facebook Twitter Linkedin