
Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati
Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini menjadi perbincangan hangat, terutama di era media sosial yang berkembang pesat. Budaya ini merujuk pada tindakan kolektif masyarakat untuk memboikot atau mengkritik keras seseorang, biasanya figur publik, akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas. Meski pada dasarnya lahir dari dorongan moral, praktik cancel culture dinilai menyimpan banyak dilema etis. Menanggapi isu ini, salah satu dosen Universitas Kristen Petra (UK Petra) Surabaya, Meilinda, S.S., M.A., memberikan pandangan kritisnya.
Meilinda, yang merupakan dosen Program Studi English for Creative Industry UK Petra, melihat bahwa cancel culture memiliki dua sisi yang perlu dipahami secara mendalam. Di satu sisi, budaya ini bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk menuntut tanggung jawab dari pihak yang melakukan kesalahan. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa pembatalan yang dilakukan secara terburu-buru, tanpa pemahaman konteks atau fakta lengkap, justru bisa menimbulkan kerugian yang lebih luas.
“Sering kali masyarakat terlalu cepat bereaksi. Tanpa mendalami konteks, seseorang bisa langsung dihakimi dan dijatuhkan reputasinya. Ini tentu bisa membahayakan,” jelas Meilinda.
Menurutnya, yang menjadi korban dalam budaya pembatalan tidak hanya individu yang disorot, melainkan juga pihak-pihak lain yang terkait. Ia memberi contoh pada kasus selebritas atau publik figur yang dibatalkan akibat satu kesalahan; seluruh tim di balik layar—mulai dari penulis, kru produksi, hingga staf pemasaran—ikut merasakan dampaknya. Kontrak kerja bisa dibatalkan, proyek dihentikan, dan reputasi profesional ikut tercoreng.
Lebih lanjut, Meilinda mengajak masyarakat untuk lebih mengedepankan empati dan pendekatan edukatif ketimbang sanksi sosial. Ia menilai bahwa alih-alih langsung “membatalkan” seseorang, masyarakat dapat mengedepankan dialog, kritik yang membangun, dan memberi ruang bagi individu tersebut untuk belajar dan memperbaiki diri.
“Kalau kita ingin perubahan yang sejati, kita harus membangun budaya komunikasi yang sehat. Edukasi jauh lebih berdampak daripada hanya menghukum,” ujarnya.
Media sosial menjadi medium daftar rajazeus utama dalam berkembangnya cancel culture. Meilinda menyoroti bahwa kecepatan dan kebebasan berbicara di platform digital memang menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi bumerang jika tidak digunakan secara bijak. Ia menegaskan pentingnya literasi digital, khususnya untuk generasi muda, agar dapat memilah informasi dan tidak terjebak dalam arus penghakiman massal.
Sebagai penutup, Meilinda mengingatkan bahwa dalam masyarakat yang beradab, proses perbaikan dan pertumbuhan pribadi harus diberi ruang. Tidak semua kesalahan harus dibayar dengan “penghilangan” seseorang dari ruang publik. Dengan pendidikan, empati, dan kepekaan sosial yang tinggi, masyarakat dapat membentuk budaya yang lebih sehat dan konstruktif.

Viral dalam Hitungan Jam: Mekanisme Penyebaran Cancel Culture di Platform Digital
Di era digital saat ini, konsep “cancel culture” atau budaya pembatalan telah menjadi fenomena yang merubah cara kita berinteraksi di dunia maya. Cancel culture merujuk pada tindakan kolektif untuk mengutuk atau “membatalkan” seseorang, biasanya seorang figur publik atau perusahaan, yang dianggap telah melakukan kesalahan atau pelanggaran tertentu. Dengan adanya media sosial dan platform digital lainnya, berita atau kritik terhadap seseorang bisa menyebar dengan sangat cepat, terkadang hanya dalam hitungan jam. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan, baik dari segi dampak sosial maupun mekanisme penyebarannya.
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture adalah gerakan sosial yang menuntut pertanggungjawaban dari seseorang atas tindakan atau kata-kata yang dianggap tidak pantas, tidak etis, atau kontroversial. Individu atau entitas yang terkena cancel culture biasanya akan kehilangan dukungan publik, dihujat di media sosial, atau bahkan ditarik kontraknya oleh berbagai perusahaan atau institusi. Tindakan pembatalan ini sering kali terjadi sebagai respons terhadap pernyataan atau perilaku yang dianggap ofensif, diskriminatif, atau menyakitkan bagi kelompok tertentu.
Contoh paling sederhana dari cancel culture adalah ketika seorang selebriti membuat pernyataan kontroversial yang memicu kemarahan publik, dan dalam waktu singkat, tagar di media sosial seperti Twitter atau Instagram mulai bermunculan untuk menuntut “pembatalan” atau boikot terhadap orang tersebut. Namun, meskipun dapat memberikan dampak langsung terhadap individu atau organisasi yang terlibat, fenomena ini juga menimbulkan perdebatan tentang batasan kebebasan berbicara dan akibat dari persepsi cepat di dunia maya.
Mekanisme Penyebaran Cancel Culture di Platform Digital
Cancel culture semakin masif dengan adanya media sosial, di mana informasi bisa tersebar dengan cepat dan meluas. Berikut adalah beberapa mekanisme yang membuat cancel culture dapat menyebar dalam hitungan jam:
-
Penyebaran Informasi Secara Instan Platform digital seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memungkinkan informasi untuk tersebar dengan sangat cepat. Ketika seseorang melakukan kesalahan atau pernyataan yang kontroversial, berita tersebut bisa menjadi viral dalam hitungan menit atau jam. Melalui tweet, unggahan, atau video, individu atau kelompok yang merasa tersinggung dapat langsung mengungkapkan ketidakpuasan mereka kepada audiens yang lebih luas.
Hashtag menjadi salah satu alat paling kuat dalam mempercepat penyebaran informasi. Misalnya, tagar seperti #CancelXYZ atau #BoycottXYZ dapat dengan mudah menarik perhatian publik dan menyatukan orang-orang yang sepaham, mempercepat proses pembatalan.
-
Masyarakat Berbicara dengan Kolektif Cancel culture sering kali tidak hanya melibatkan satu orang atau kelompok yang menyerang, tetapi lebih kepada gerakan kolektif dari masyarakat yang berinteraksi di media sosial. Ketika sebuah isu kontroversial muncul, banyak orang yang ikut berpartisipasi dengan membagikan pendapat mereka, membuat meme, atau memberikan respons emosional. Reaksi massal ini menciptakan efek bola salju, di mana semakin banyak orang terlibat dalam pembicaraan yang semakin meluas.
-
Dampak Algoritma Media Sosial Algoritma media sosial memainkan peran besar dalam penyebaran cancel culture. Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram menggunakan algoritma yang memprioritaskan konten yang mendapat banyak interaksi. Ketika sebuah postingan atau tweet mengenai kontroversi mendapat banyak like, komentar, dan dibagikan, algoritma akan memastikan bahwa konten tersebut muncul di feed lebih banyak orang.
Hal ini berarti bahwa sekali sebuah topik menjadi viral, konten terkait akan terus tersebar, menjangkau lebih banyak orang dengan cepat. Dalam banyak kasus, reaksi atau respons terhadap kontroversi semakin intens dan cepat berkembang, menciptakan “lingkaran umpan balik” yang semakin memperburuk situasi.
-
Eskalasi Emosi dan Sensasi Di dunia digital, reaksi terhadap pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas sering kali disertai dengan reaksi emosional yang kuat. Setiap komentar atau post yang muncul bisa menambah bahan bakar untuk eskalasi emosi, dengan orang-orang yang terlibat merasa semakin terprovokasi untuk melibatkan diri dalam debat atau bahkan menyerang individu yang terlibat dalam kontroversi.
Konten yang berisi informasi sensasional atau provokatif lebih cenderung untuk dibagikan karena orang lebih tertarik pada reaksi emosional daripada analisis yang lebih rasional. Hal ini mempercepat proses penyebaran raja zeus slot informasi dan memperbesar dampak dari cancel culture.
-
Peran Influencer dan Media Sosial Influencer dan figur publik di media sosial memainkan peran penting dalam mempercepat penyebaran cancel culture. Ketika seseorang yang memiliki pengaruh besar di dunia maya berbicara atau memberikan pendapat mengenai suatu kontroversi, itu dapat meningkatkan visibilitas isu tersebut. Influencer yang ikut berpartisipasi dalam pembatalan atau yang mengutuk tindakan seseorang dapat membawa lebih banyak perhatian dari pengikut mereka, menciptakan gelombang reaksi yang lebih besar.
Media sosial juga memberikan ruang bagi media alternatif untuk berkembang, yang memungkinkan konten-konten terkait dengan cancel culture dapat menyebar tanpa harus melewati penyaringan tradisional dari media mainstream.
Dampak dari Cancel Culture
1. Kehilangan Karir dan Reputasi Salah satu dampak paling jelas dari cancel culture adalah kerugian reputasi dan bahkan hilangnya karir. Selebriti, influencer, bahkan perusahaan besar bisa terkena dampaknya. Kontroversi yang berkaitan dengan perilaku atau pernyataan tertentu dapat menyebabkan hilangnya kontrak, kerjasama bisnis, atau bahkan pemberhentian dari pekerjaan.
2. Pembatasan Kebebasan Berbicara? Banyak orang berpendapat bahwa cancel culture membatasi kebebasan berbicara, karena seseorang yang menyatakan pendapat yang kontroversial bisa berisiko dibatalkan tanpa kesempatan untuk menjelaskan atau meminta maaf terlebih dahulu. Ini menjadi perdebatan mengenai apakah gerakan ini berfungsi sebagai kontrol sosial atau justru merugikan kebebasan berpendapat.
3. Polarisasi Sosial Meskipun cancel culture dapat bertindak sebagai alat untuk mengungkapkan ketidakpuasan terhadap perilaku yang tidak etis, ia juga dapat menyebabkan polarisasi di masyarakat. Orang-orang yang terlibat dalam debat mengenai isu ini sering kali menjadi sangat terbelah, dengan masing-masing pihak memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang siapa yang pantas untuk “dibatalkan” dan siapa yang tidak.
BACA JUGA: Aksi Penolakan di Indonesia 2025: Protes Sosial yang Mewarnai Tahun 2025