Juni 2, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

Dosen UK Petra Surabaya Tanggapi Budaya Cancel Culture: Ajakan untuk Edukasi dan Empati

Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan kini menjadi perbincangan hangat, terutama di era media sosial yang berkembang pesat. Budaya ini merujuk pada tindakan kolektif masyarakat untuk memboikot atau mengkritik keras seseorang, biasanya figur publik, akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap tidak pantas. Meski pada dasarnya lahir dari dorongan moral, praktik cancel culture dinilai menyimpan banyak dilema etis. Menanggapi isu ini, salah satu dosen Universitas Kristen Petra (UK Petra) Surabaya, Meilinda, S.S., M.A., memberikan pandangan kritisnya.

Meilinda, yang merupakan dosen Program Studi English for Creative Industry UK Petra, melihat bahwa cancel culture memiliki dua sisi yang perlu dipahami secara mendalam. Di satu sisi, budaya ini bisa menjadi sarana bagi masyarakat untuk menuntut tanggung jawab dari pihak yang melakukan kesalahan. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa pembatalan yang dilakukan secara terburu-buru, tanpa pemahaman konteks atau fakta lengkap, justru bisa menimbulkan kerugian yang lebih luas.

“Sering kali masyarakat terlalu cepat bereaksi. Tanpa mendalami konteks, seseorang bisa langsung dihakimi dan dijatuhkan reputasinya. Ini tentu bisa membahayakan,” jelas Meilinda.

Menurutnya, yang menjadi korban dalam budaya pembatalan tidak hanya individu yang disorot, melainkan juga pihak-pihak lain yang terkait. Ia memberi contoh pada kasus selebritas atau publik figur yang dibatalkan akibat satu kesalahan; seluruh tim di balik layar—mulai dari penulis, kru produksi, hingga staf pemasaran—ikut merasakan dampaknya. Kontrak kerja bisa dibatalkan, proyek dihentikan, dan reputasi profesional ikut tercoreng.

Lebih lanjut, Meilinda mengajak masyarakat untuk lebih mengedepankan empati dan pendekatan edukatif ketimbang sanksi sosial. Ia menilai bahwa alih-alih langsung “membatalkan” seseorang, masyarakat dapat mengedepankan dialog, kritik yang membangun, dan memberi ruang bagi individu tersebut untuk belajar dan memperbaiki diri.

“Kalau kita ingin perubahan yang sejati, kita harus membangun budaya komunikasi yang sehat. Edukasi jauh lebih berdampak daripada hanya menghukum,” ujarnya.

Media sosial menjadi medium daftar rajazeus utama dalam berkembangnya cancel culture. Meilinda menyoroti bahwa kecepatan dan kebebasan berbicara di platform digital memang menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi bumerang jika tidak digunakan secara bijak. Ia menegaskan pentingnya literasi digital, khususnya untuk generasi muda, agar dapat memilah informasi dan tidak terjebak dalam arus penghakiman massal.

Sebagai penutup, Meilinda mengingatkan bahwa dalam masyarakat yang beradab, proses perbaikan dan pertumbuhan pribadi harus diberi ruang. Tidak semua kesalahan harus dibayar dengan “penghilangan” seseorang dari ruang publik. Dengan pendidikan, empati, dan kepekaan sosial yang tinggi, masyarakat dapat membentuk budaya yang lebih sehat dan konstruktif.

BACA JUGA: 5 Artis Hobi Membalas Komentar Nyinyir Netizen

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.