Mei 9, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

Membatalkan di Era Global: Cancel Culture dalam Perspektif Budaya Dunia

Di era digital yang serba cepat, satu kesalahan di internet rajazeus link alternatif bisa membawa konsekuensi besar. Kata-kata, tindakan, atau bahkan pernyataan di masa lalu bisa diangkat kembali dan menjadi pemicu bagi publik untuk “membatalkan” seseorang atau suatu entitas. Fenomena ini dikenal luas sebagai Cancel Culture.

Istilah ini telah menjadi bagian penting dari percakapan global — baik di dunia hiburan, politik, hingga bisnis — dan menimbulkan perdebatan besar: apakah cancel culture merupakan bentuk keadilan sosial atau justru penghakiman massa digital yang tak adil?

Artikel ini mengulas cancel culture dari sudut pandang global, bagaimana setiap budaya menyikapinya, serta dampaknya terhadap masyarakat dan individu.

Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture merujuk pada praktik kolektif masyarakat — khususnya di media sosial — untuk memboikot, menarik dukungan, atau membungkam seseorang atau organisasi karena dianggap telah melakukan hal yang salah, tidak pantas, atau ofensif secara moral maupun sosial.

Contohnya bisa beragam: dari selebritas yang membuat komentar rasis, perusahaan yang tidak mendukung hak-hak minoritas, hingga politikus yang terlibat skandal.

Di satu sisi, cancel culture dianggap sebagai alat kontrol sosial dan bentuk akuntabilitas. Namun di sisi lain, ini juga bisa menjadi bentuk pembungkaman, terutama ketika dilakukan tanpa fakta utuh atau ruang untuk perbaikan.

Cancel Culture dalam Konteks Global

1. Amerika Serikat: Lahirnya Istilah “Cancel Culture”

AS adalah tempat di mana istilah ini pertama kali populer, khususnya melalui Twitter. Budaya bebas berpendapat yang kuat, dikombinasikan dengan masyarakat yang sangat terpolarisasi secara politik, membuat cancel culture berkembang pesat. Selebriti, CEO, hingga profesor universitas bisa “dibatalkan” dalam semalam karena kontroversi yang viral.

Contoh: J.K. Rowling dikritik keras karena komentarnya soal transgender, hingga menyebabkan banyak penggemar “membatalkan” dirinya meskipun karya Harry Potter tetap populer.

2. Korea Selatan: Budaya Perfeksionisme dan Pengaruh Netizen

Di Korea Selatan, cancel culture muncul dalam bentuk yang sangat kuat, terutama terhadap idol K-pop dan aktor. Karena budaya kerja keras dan ekspektasi tinggi, kesalahan sekecil apa pun bisa berujung pada permintaan maaf publik atau bahkan penghentian karier.

Contoh: Banyak artis yang kariernya tamat karena komentar masa lalu, dugaan bullying, atau perbuatan yang dianggap tidak sopan oleh publik.

3. Jepang: Budaya Malu dan Diamnya Pembatalan

Di Jepang, pembatalan terjadi lebih halus dan pasif. Masyarakat jarang menyerang langsung, tetapi mengekspresikan ketidaksetujuan melalui pengabaian sosial atau “pembekuan” dari komunitas. Individu atau tokoh publik bisa kehilangan pekerjaan, peran TV, atau kontrak tanpa banyak penjelasan publik.

4. Eropa: Campuran Toleransi dan Kritik Terbuka

Di Eropa, cancel culture memiliki karakter yang beragam tergantung negara. Di Inggris dan Prancis, misalnya, debat seputar kebebasan berpendapat vs tanggung jawab sosial menjadi inti. Banyak tokoh yang dibatalkan namun juga didukung oleh kelompok yang membela kebebasan berekspresi.

5. Indonesia: Cancel Culture yang Muncul Bersama Netizen +62

Cancel culture di Indonesia semakin terasa seiring meningkatnya pengguna media sosial. Tokoh publik, influencer, hingga brand lokal kini harus berhati-hati karena komentar yang dinilai salah bisa langsung viral dan diserang oleh netizen.

Contoh: Kasus-kasus komentar artis tentang isu sensitif seperti agama, gender, atau politik bisa langsung berujung trending dan boikot. Namun, ada juga kasus di mana netizen cepat “memaafkan” setelah klarifikasi.

Dampak Cancel Culture: Dua Sisi Mata Uang

💡 Positif:

  • Mendorong akuntabilitas sosial.

  • Memberikan suara pada kelompok yang selama ini terpinggirkan.

  • Mengangkat isu-isu penting seperti rasisme, seksisme, atau pelecehan.

⚠️ Negatif:

  • Tidak memberi ruang untuk rehabilitasi atau pertobatan.

  • Bisa menjadi persekusi online dan menyebabkan dampak psikologis.

  • Tidak selalu berdasarkan informasi yang akurat, sehingga memicu trial by social media.

Apakah Cancel Culture Bisa Diseimbangkan?

Muncul gagasan bahwa cancel culture perlu digantikan dengan pendekatan “accountability culture” — yakni, bukan hanya menghukum, tetapi mendorong pertanggungjawaban, pemulihan, dan edukasi.

Beberapa tokoh seperti Trevor Noah dan Barack Obama menyuarakan bahwa “memanggil” (call out) lebih baik daripada “membatalkan” jika ingin membangun masyarakat yang lebih adil dan sadar.

Kesimpulan: Dunia di Persimpangan Digital

BACA JUGA: Viral dalam Hitungan Jam: Mekanisme Penyebaran Cancel Culture di Platform Digital

Cancel culture menunjukkan betapa kuatnya suara publik di era digital. Dunia kini berada di persimpangan: antara mendukung keadilan sosial dan menjaga ruang dialog yang sehat. Cara tiap budaya menangani pembatalan mencerminkan nilai-nilai dan sensitivitas sosial masing-masing.

Yang pasti, dunia maya kini bukan sekadar tempat berbagi, tapi juga ruang pengadilan sosial yang nyata. Dan kita semua — netizen global — adalah juri sekaligus peserta dalam drama besar bernama cancel culture.

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.