Oktober 4, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

Cancel Culture: Fenomena Sosial Media yang Kontroversial dan Kompleks

Dalam era digital yang serba cepat, cancel slot qris 5k culture telah menjadi istilah yang akrab di telinga banyak orang. Ia muncul sebagai bentuk perlawanan publik terhadap figur atau institusi yang dianggap melakukan kesalahan moral, sosial, atau politis. Namun seiring perkembangannya, cancel culture menjadi fenomena yang kontroversial—dipuji sebagai bentuk akuntabilitas, tapi juga dikritik sebagai bentuk persekusi digital. Lantas, apa sebenarnya cancel culture itu? Apakah ini bentuk keadilan sosial modern, atau hanya “hukuman massa” tanpa ruang maaf?

1. Apa Itu Cancel Culture?

Secara sederhana, cancel culture adalah praktik sosial ketika seseorang—biasanya tokoh publik atau figur terkenal—”dibatalkan” oleh masyarakat, baik melalui seruan boikot, kecaman massal, hingga hilangnya dukungan secara publik akibat suatu tindakan, ucapan, atau pandangan yang dianggap salah.

Contoh bentuk “cancel”:

  • Tidak lagi membeli produk dari brand tertentu,

  • Memutus kontrak kerja dengan figur kontroversial,

  • Menarik dukungan di media sosial (unfollow, block, expose),

  • Membuat tagar kampanye seperti #Cancel[Name].

Awalnya cancel culture muncul dari komunitas minoritas sebagai bentuk protes kolektif terhadap ketidakadilan struktural, tetapi kini praktik ini telah meluas ke berbagai ranah.

2. Cancel Culture: Suara Rakyat atau Pengadilan Tanpa Proses?

Di satu sisi, cancel culture dianggap sebagai:

  • Alat akuntabilitas publik: Ketika sistem hukum gagal bertindak, cancel culture bisa menjadi bentuk tekanan sosial untuk meminta pertanggungjawaban.

  • Benteng moral kolektif: Menolak normalisasi perilaku diskriminatif, misoginis, rasis, atau intoleran.

  • Cara korban bersuara: Memberikan ruang kepada kelompok yang sebelumnya tak punya akses untuk bersuara.

Namun di sisi lain, cancel culture juga dikritik karena:

  • Tidak memberi ruang maaf atau pembelajaran,

  • Bersifat brutal dan penuh emosi (tanpa mempertimbangkan konteks),

  • Bisa berujung pada doxxing, bullying, hingga kerusakan reputasi permanen, bahkan jika tuduhan belum terbukti.

Dalam banyak kasus, individu yang “dibatalkan” kehilangan pekerjaan, mengalami tekanan mental, atau diasingkan secara sosial tanpa kesempatan klarifikasi.

3. Contoh Cancel Culture di Dunia Nyata

Beberapa kasus terkenal yang melibatkan cancel culture:

  • J.K. Rowling (penulis Harry Potter) diboikot sebagian penggemarnya karena pernyataan kontroversialnya tentang transgender.

  • Brand fashion besar yang diboikot karena menggunakan tenaga kerja anak atau konten rasis.

  • Selebgram dan influencer lokal yang dibatalkan karena dugaan manipulasi, ujaran kebencian, atau perilaku toxic.

Di Indonesia sendiri, fenomena cancel culture sering muncul di Twitter/X dan TikTok, di mana pengguna saling “mengadili” dengan tagar dan benang kronologi lengkap.

4. Cancel vs. Call Out Culture

Penting untuk membedakan cancel culture dan call out culture:

  • Call out culture = mengkritik secara publik sebagai bentuk edukasi atau ajakan diskusi.

  • Cancel culture = mengisolasi secara sosial tanpa membuka ruang dialog.

Keduanya lahir dari ruang yang sama, yaitu keinginan untuk memperbaiki moral publik. Namun, dampaknya bisa sangat berbeda.

5. Perlu Ruang Belajar dan Bertumbuh

Apakah semua orang yang pernah salah pantas dibatalkan selamanya?

Kritik terhadap cancel culture sering menyuarakan bahwa manusia bisa berubah. Daripada sekadar menghukum, seharusnya masyarakat membuka ruang:

  • Untuk klarifikasi dan permintaan maaf,

  • Untuk pertumbuhan dan edukasi,

  • Untuk rekonsiliasi, bukan hanya eksklusi.

Kita perlu membedakan antara kesalahan yang bisa diperbaiki dan perilaku yang memang membahayakan komunitas.

Penutup: Cancel Culture, Refleksi Kuasa Publik di Era Digital

BACA JUGA: Cancel Culture Pertama di Indonesia dan Artis Viral

Cancel culture menunjukkan bahwa kini kuasa bukan hanya milik institusi, tapi juga masyarakat. Dalam satu sisi, ini adalah bukti bahwa suara publik bisa mengubah arus. Tapi di sisi lain, kekuatan tersebut harus diimbangi dengan kesadaran, empati, dan pertimbangan etis. Sebelum ikut “membatalkan” seseorang, mungkin kita juga harus bertanya.

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.