Mei 10, 2025

Projectbolo : Hal Tabu Di Berbagai Negara

Mengangkat topik yang tabuh untuk dibicarakan, namun dengan praktek terjadi dimana-mana

Cancel Culture 2025: Ketika Netizen Jadi Hakim di Dunia Maya Indonesia

Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan terus berkembang di Indonesia dan mencapai puncaknya pada tahun 2025. Muncul sebagai bentuk protes terhadap perilaku bermasalah dari figur publik, selebriti, maupun tokoh politik, cancel culture kini berkembang menjadi alat yang tajam sekaligus kontroversial di tangan warganet. Dalam banyak kasus, netizen Indonesia bahkan dianggap telah menjadi “hakim” digital yang menentukan siapa layak dihargai dan siapa yang harus dikucilkan.

Namun apakah ini bentuk kesadaran kolektif yang sehat? Ataukah justru menjadi praktik persekusi massal yang merugikan?


Apa Itu Cancel Culture?

Cancel culture adalah praktik sosial di mana seseorang atau kelompok dihentikan dukungannya secara publik—sering kali melalui media sosial—karena tindakan, pernyataan, atau pandangan yang dianggap ofensif, kontroversial, atau tidak sesuai dengan nilai moral masyarakat. Bentuknya bisa berupa:

  • Ajakan untuk unfollow di media sosial

  • Seruan boikot produk atau karya

  • Penyebaran tagar seperti #Cancel[namatarget]

  • Penggalian kesalahan masa lalu (digital digging)


Tren Cancel Culture di Indonesia Tahun 2025

Tahun 2025 menyaksikan lonjakan kasus cancel culture di Indonesia. Penyebabnya beragam—mulai dari isu moral, politik, agama, hingga kesalahan kecil di masa lalu. Beberapa tren mencolok meliputi:

1. Semakin Cepat, Semakin Viral

Dalam hitungan jam, sebuah video atau pernyataan bisa viral dan langsung memicu gelombang kemarahan warganet. Belum sempat klarifikasi dilakukan, target cancel sudah dihujat habis-habisan.

2. Target yang Semakin Luas

Dulu hanya selebriti dan tokoh publik yang jadi sasaran. Kini, influencer mikro, content creator kecil, bahkan individu biasa bisa tiba-tiba jadi “musuh bersama” karena sebuah postingan viral.

3. Tajam di Dunia Hiburan dan Politik

Figur publik yang tersandung isu rasisme, seksisme, body shaming, LGBT, atau politik identitas rentan jadi target. Bahkan salah mengucap satu kata sensitif saja bisa langsung memicu gelombang pembatalan.


Kekuatan dan Bahaya Cancel Culture

Cancel culture kerap dipandang sebagai bentuk akuntabilitas sosial. Ketika sistem hukum lamban atau tidak mampu memberikan keadilan, netizen mengambil peran sebagai “penegak moral”.

Contoh positif:
Kasus-kasus pelecehan seksual yang terangkat karena korban bersuara di media sosial dan mendapat dukungan publik. Dalam beberapa kasus, cancel culture mendorong investigasi dan tindakan nyata dari pihak berwenang.

Namun, cancel culture juga punya sisi gelap:

1. Tanpa Proses dan Klarifikasi

Seseorang bisa langsung dihakimi sebelum sempat memberikan penjelasan. Praduga tak bersalah kerap diabaikan.

2. Efek Jangka Panjang

Korban pembatalan bisa kehilangan pekerjaan, mengalami gangguan mental, atau bahkan dikucilkan sosial secara permanen. Dalam kasus ekstrem, ada yang sampai bunuh diri karena tekanan publik.

3. Salah Sasaran

Kadang orang yang tidak bersalah ikut terseret. Salah satu contohnya adalah kasus salah identitas—netizen memburu akun atau orang yang ternyata bukan pelaku sebenarnya.


Siapa Saja yang Bisa Kena Cancel?

Tak ada yang kebal. Berikut profil umum target cancel culture di Indonesia 2025:

  • Artis dan musisi: karena ucapan kontroversial, gaya hidup, atau sikap politis

  • Influencer media sosial: karena dianggap toxic, menyebarkan hoaks, atau bersikap tidak sensitif

  • Politikus dan pejabat publik: karena korupsi, pelanggaran etika, atau rekam jejak buruk

  • Merek dagang atau brand: karena bekerja sama dengan figur yang dibatalkan atau karena isu CSR


Netizen: Kekuatan Rakyat atau Teror Publik?

Di satu sisi, cancel culture membuktikan rajazeus link alternatif kekuatan kolektif masyarakat digital. Tapi ketika amarah lebih dominan daripada logika, hasilnya adalah penghakiman massa. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar:

  • Apakah semua orang layak mendapat kesempatan untuk berubah?

  • Siapa yang berhak memutuskan bahwa seseorang harus dikucilkan selamanya?

  • Apakah kita hanya ikut tren membatalkan tanpa berpikir kritis?


Menuju Budaya Kritik yang Lebih Dewasa

Cancel culture bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan—jika digunakan dengan bijak. Namun untuk itu, kita perlu membangun budaya kritik yang sehat:

  1. Pisahkan antara kritik dan hujatan

  2. Berikan ruang klarifikasi sebelum membentuk opini publik

  3. Fokus pada edukasi, bukan hanya penghakiman

  4. Gunakan media sosial dengan empati dan tanggung jawab

  5. Pahami konteks dan fakta sebelum menyebarkan sesuatu

BACA JUGA: Membatalkan di Era Global: Cancel Culture dalam Perspektif Budaya Dunia

Share: Facebook Twitter Linkedin

Comments are closed.