Belakangan ini, istilah cancel culture sering banget muncul di media sosial. Fenomena ini jadi semacam “senjata netizen” buat ngasih hukuman sosial ke publik figur, influencer, atau bahkan orang biasa yang dianggap melakukan kesalahan. Cancel culture memang bikin pro dan kontra, karena di satu sisi bisa jadi bentuk kontrol sosial, tapi di sisi lain kadang kelewat ekstrem.
Secara simpel, cancel culture itu budaya memboikot seseorang atau brand karena perilaku atau ucapan mereka dianggap salah. Contohnya, artis yang ketahuan berbuat buruk atau selebgram yang ngeluarin statement kontroversial, langsung dibanjiri hujatan netizen dan kehilangan banyak followers. Bahkan ada yang sampai kehilangan pekerjaan atau kontrak iklan.
Di satu sisi, cancel culture bisa dianggap alat keadilan sosial. Netizen merasa punya suara buat ngasih teguran keras ke orang-orang berpengaruh yang melakukan hal tidak pantas. Karena seringkali hukum formal atau pihak berwenang lambat bertindak, cancel culture jadi cara cepat buat kasih “hukuman” biar mereka sadar.
Tapi di sisi lain, cancel culture juga sering dianggap toxic. Kenapa? Karena kadang netizen main hajar tanpa fakta lengkap. Ada kasus di mana orang yang salah ucap atau bercanda kebablasan langsung kena cancel habis-habisan, padahal konteksnya belum jelas. Alhasil, banyak orang jadi takut ngomong atau berekspresi karena khawatir di-cancel.
Fenomena ini juga nyerang ke dunia hiburan, politik, bahkan bisnis. Banyak brand batalin kerja sama sama influencer karena takut kebawa arus cancel. Akhirnya, cancel culture bukan cuma soal individu, tapi juga bisa ngefek ke reputasi perusahaan.
Yang bikin cancel culture makin kuat adalah media sosial. Dengan sekali trending di Twitter atau viral di TikTok, opini publik bisa berubah cepat. Orang-orang berlomba-lomba kasih komentar pedas, tanpa mikirin efek psikologis ke orang yang di-cancel.
Dampaknya, nggak sedikit orang yang kena cancel culture jadi stres, kehilangan pekerjaan, bahkan trauma. Tapi ada juga yang berhasil bangkit, minta maaf dengan tulus, dan perlahan diterima lagi sama publik. Jadi, nggak semua cancel culture berakhir tragis.
Intinya, cancel culture itu fenomena nyata di era digital. Ada sisi positifnya sebagai kontrol sosial, tapi juga ada sisi gelapnya karena bisa berubah jadi perundungan massal. Sebagai netizen, penting banget buat kita lebih bijak sebelum ikut-ikutan cancel. Cari fakta dulu, pahami konteks, baru tentukan sikap.
Kalau nggak hati-hati, cancel culture bisa jadi bumerang yang ngerusak kebebasan berpendapat. Jadi, yuk lebih kritis, tapi juga tetap manusiawi. Grafik game spaceman ini juga nggak main-main. Nuansa kosmik, astronaut imut, dan efek visual futuristik bikin pengalaman main makin imersif. Rasanya kayak ikut petualangan luar angkasa mini di layar HP.
Baca Juga: Hal Tabu di Negara Jepang: Memahami Batasan Sosial dan Budaya yang Perlu Dihormati